Sunday, February 11, 2024

MENYAPA SAPA

Sapa town from the cloud yard, Ham Rong mountain. 

Uhm, Hello

It's been a long time since i'm visiting this old, dusty, blog , that i have ๐Ÿ˜… Ghirah menulis saya memang menyalanya seperti lilin kecil di padang pasir, byar pet, lebih sering padamnya ternyata, terberangus malas ataupun lelah ๐Ÿ˜ด

Karena sesuatu hal, akhirnya saya menulis lagi. Iya, karena komen iseng saya di lapak orang tentang perjalanan kereta menuju Sapa, banyak yang menulis DM, meminta informasi secara detail. Tadinya cuma beberapa orang, saya masih bisa balas dengan santai. Terus lama2 menjadi banyak๐Ÿ˜‚ Lumayan menguras energi juga untuk membalas satu-persatu, padahal yah, saya suka juga berinteraksi dengan teman baru. 

Tapi, dikarenakan IRL, i'm a little bit hectic myself, akhirnya, saya memutuskan saja untuk menuliskannya saja, biar semua orang bisa mendapatkan informasi yang sekiranya dibutuhkan.  Karena ternyata, snack video yg pendek2 itu, kurang informatif. Dan lewat tulisan saya di my humble blog ini, mudah-mudahan bisa membantu teman-teman untuk bisa merencanakan perjalanan dari Hanoi menuju Sapa, dengan baik. 

Road to Sapa-- Train or not train? 

Sapa terletak di Vietnam sebelah barat daya. Kota kecil di provinsi Lao Cai, yang langsung berbatasan darat dengan provinsi Yunnan, PRC. Sapa sendiri berada di ketinggian 1600mdpl, sehingga hawanya selalu sejuk. Kalo orang Bandung kaya saya, hawa di Sapa itu mirip kaya Lembang. 

Meski Sapa tergolong kota kecil, tetapi daya tarik alam serta khasanah budayanya menjadi magnet yang menarik banyak wisatawan. Dan pilihan mode transportasi menuju ke sana, terbilang cukup mudah diakses oleh foreigner sekalipun, menjadikan Sapa selalu masuk ke dalam bucket list setiap orang yang sedang bertandang ke Vietnam.

Jarak dari Hanoi ke Sapa adalah 350km dengan beberapa opsi transportasi publik. Saya akan coba menjelaskan beberapa jenis transportasi yang saya gunakan, dan menghighlight juga, mengapa saya tidak memilih mode transportasi tertentu. 

Pilihan transportasi dari Hanoi ke Sapa ada 4 jenis:

1. Private transfer (drop off)

2. Bis Hanoi-Sapa (vice versa)

3. Luxury Vans Hanoi-Sapa (vv)

4. Kereta (Vietnam Railways atau Luxury train). Hanoi-Lao Cai (Lao Cai-Sapa with other vehicles). 

Nah, mari kita bahas satu-persatu.

1. Private transfer.

Jujur, moda ini tidak pernah jadi opsi paling utama buat saya, kecuali memang saya butuh kendaraan karena, either, saya bawa barang banyak banget, atau saya bawa rombongan tagoni; yang setelah berhitung, misalnya, ongkosnya jadi lebih murah kalo sewa mobil sendiri. 

Untuk leg Hanoi-Sapa, buat saya, menyewa mobil,  kurang make sense, apalagi saat itu saya pergi cuma berdua sama anak. Tetapi jika ada teman-teman yang pergi dengan grup yang banyak, let's say, 6-8 orang. Mungkin menyewa mobil van bisa jadi pilihan. 

Banyak banget kok yang menawarkan jasa drop off dari Hanoi ke Sapa, biasanya hotel-hotel di Hanoi juga punya akses untuk ini. Tetapi, website seperti Viator juga bisa kita sourcing. Kalo saya cek harga, rerata harga drop off memakai mobil ini ada dikisaran harga: $148 untuk 4 Seats car: $148, $158 untuk 7 seats car, dan $190 untuk limousine van yg 9 seats

Perjalanan dengan private transfer seperti ini akan lebih 'sat-set', door to door juga. Jarak 350km dari Hanoi, akan ditempuh dalam waktu kurleb 5,5 jam saja jika pakai free way Hanoi-Lao Cai, atau 6,5 jam jika memakai jalan biasa, non-toll.

Kecepatan perjalanan, door-to-door, bisa terserah kita mau pergi jam berapa, dan tidak berbagi kendaraan dengan stranger, mungkin adalah salah satu alasan untuk memilih private transfer, bagi mereka yang leluasa secara budget. 

Beberapa pilihan private transfer; Bookaway atau Viator 

2. Bis Hanoi-Sapa (vv)

Bagi budget traveler kaya saya, bis biasanya akan selalu menjadi opsi utama dalam melakukan perjalanan dari point A ke point B. Untuk perjalanan saya menuju Sapa, saya juga cukup intens mencari info soal perjalanan menggunakan bis ini. 

Saya liat2 video dari youtube ataupun baca-baca blog traveller lain, kebanyakan dari luar, karena memang kayanya traveller Indo baru sekarang-sekarang aja hype ke Vietnamnya, terutama setelah ada direct flight menuju Saigon dan Hanoi. Jadi, pada saat saya berangkat, bulan Juni 2023, saya masih pergi via KL dan pulang via Bangkok. Hix. 

Nah, perjalanan dengan bis dari Hanoi ke Sapa, memakan waktu kurang lebih 6 jam saat perjalanan day light (pagi-siang hari), dan perjalanan malamnya bisa jadi 7-7,5 jam, kalau berdasarkan info yang saya dapat dari beberapa blog yang saya baca.  

Jalur bis ini akan sama dengan jalur yang digunakan oleh private transfer. Semua kendaraan menuju Sapa, akan memakai jalan tol CTO5 hingga Lao Cai, terus akan menggunakan satu-satunya jalur menuju Sapa yaitu QL4D. Tapi kenapa bisa lebih lama? Karena selama perjalanan, bis akan stop sebanyak 2X, untuk rest room break dan makan, dan selama break ini, konon nih, driver yang malam, berhentinya memang sengaja lebih lama, supaya sampenya ngga pagi buta banget. 

Nah, biasanya perjalanan bus malam atau sleeper bus ini akan berangkat dari terminal My Dihn, tetapi beberapa berangkat juga dari area old quarter, either jam 20.00 atau ada juga yang jam 22.00. Dan sampai di Sapa dini hari. Sekitar jam 4 atau jam 5 pagi. 

Dan ini adalah salah satu pertimbangan saya, mengapa akhirnya saya skip menggunakan bis malam ini. Saya gak mau terlunta-lunta dini hari, di tempat sedingin Sapa.๐Ÿ˜… 

Selain itu, perjalanan melalui jalur QL4D itu, jalurnya panjang, menanjak dan super berkelok-kelok, dengan lembah2 di sisi kiri atau kanannya.Terus terang, ini bikin saya agak panik dan juga ngebayangin anak saya maboknya bisa kaya gimana๐Ÿ˜…. Udah gitu, saya juga melihat beberapa video sleeper busnya, meski saya bukan orang yang germ freak, tapi kalo liat slepeer busnya, meski yang exclusive sekalipun, saya ngerasa kurang cocok๐Ÿ˜…๐Ÿ˜‚ 

Mana dapet juga cerita bule, yang terpaksa dihantui bau muntahan orang laen semaleman, karena banyak orang yang mabok darat selama perjalanan melalui jalur QL4D, yang meski cuma sejam, tapi kok kayanya neraka banget kalo kudu ngalamin hal begitu selama perjalanan. 

Oh, terus, bisa jadi ada pertanyaan, kenapa ga pake bis yang pergi pagi atau siang? Karena daylight itu sangat berharga buat traveller yang waktunya terbatas kaya saya. Better waktunya saya pakai untuk eksplor,  daripada pake buat perjalanan. Makanya saya akan lebih prefer perjalanan malam, jika memungkinkan. 

But once again, ini preferensi saya yah. Jangan dijadikan patokan, kalo teman2 ada yang bis mania, dan suka pake bis, silahkan saja pakai, jangan ragu2. Biar  bisa dapet eksperien juga pakai bis AKAP di negeri orang kaya gimana.

Nah, cari bisnya di mana? Pesennya lewat apa? Banyak banget sih bis yang buka service untuk rute Hanoi-Sapa ini. Tapi silahkan do your own dillegence research juga yah, mengenai bis yang paling okay, sesuai hati nuranimu. Elah.๐Ÿ˜ฌ

Untuk pemesanan secara online, bisa cari di web 12go pembayaran bisa memakai credit card di web ini. Jangan lupa baca-baca reviewnya juga. 

3. Luxury Vans 

Bagi yang sering bolak balik Jakarta-Bandung pakai Cititrans atau Jackal Holiday, ini adalah vibe yang sama ketika kita menggunakan luxury vans dari Hanoi ke Sapa atau vice versa. Nah, kebetulan, saya memilih menggunakan luxury vans ini untuk kepulangan saya dari Sapa ke Hanoi. Jadi, saya beneran bisa cerita first hand experience kalo soal ini. 



Servicenya door to door, jadi saya dijemput di hotel saya di Sapa, dan di drop off di hotel saya di area old quarter.  Kita bisa dijemput, selama hotel di Sapa berada di area down townnya. Jika hotel kita berada di desa-desa yang agak remote, kita musti ke drop point, yang berada agak sedikit di luar Sapa, atau untuk hotel di Hanoi, kita tetap di drop off di area old quarter, dan harus meneruskan perjalanan ke hotel  yang berada di luar area old quarter dengan grab atau taxi. 

Sama halnya seperti bis, luxury vans juga banyak banget vendornya. Tetapi, dari yang saya baca-baca, ada satu layanan luxury vans yang banyak di raved sama traveller luar dan jadi pilihan no 1 untuk transport Hanoi-Sapa di kanal Tripadvisor, yaitu Amazing Uncles. 

Untuk titik keberangkatan, Amazing uncles akan pick up di Old quarter, dan juga di Noi Bai airport. Pun, kepulangan dari Sapa. Jika kebetulan mau langsung pulang dari Sapa, misalnya saja, kita punya flight sore menjelang malam di Noi bai, kita bisa pake amazing uncles ataupun luxury vans lainnya (karena semua vans akan selalu mampir ke Noi Bai), dengan jam keberangkatan pagi jam 7:30, dan sampai di Noi Bai airport jam 12:00-13:00.  Tapi, pastikan buffer time antara perjalanan van ke jam keberangkatan jauhnya di minimal 6 jam yah. Kalo terlalu mepet, saya sangat tidak menyarankan.

Untuk jam keberangkatan dan harga, bisa langsung buka saja websitenya yah. Untuk booking, kita bisa langsung WA ke no Mr. Viet Anh. Nonya sbb: +84 98 786 15 89

Nah, sayangnya, meski saya sempat komunikasi dengan Mr. Viet Ahn melalui WA, ternyata pas waktunya, saya tetep ga kebagian Amazing uncles ini, karena waktu pemesanan saya yang terlalu mepet. Jadi, jika ingin menggunakan jasa amazing uncles, better jauh2 hari bookingnya. 

Lah, katanya 1st hand experience pake luxury van?๐Ÿ™„ Iya, saya tetep pake luxury vans kok, cuma pake service yang lain. Jadi, saat saya gak dapet slot Amazing uncles, saya langsung booking aja sih di 12go. Dan saya pake van yang dari grouptour.  

Dari Sapa, kita cuma ada 4 passangers aja, jemput ke 2 tempat, berangkat jam 14.00 siang, sampe Hanoi jam 19.00 an lebih. Cepet banget. Satset. Padahal berhenti 2 kali juga. Tapi emang di tollnya juga sepi, jadi kaya pake jalan punya si Mbah.  

Kena berapa sih pake grouptour? Saat pemesanan saya, di bulan Juni 2023, kena VND 894700 buat 2 orang. Jd sekitar IDR 570.000   untuk 2 pax, atau sekitar IDR 285.000 per pax.

Selama perjalanan akan ada 2X stop juga, untuk rest room break. Bisa jajan juga kalo mau. Jangan lupa bawa duit kecil  VND 3.000 buat bayar toilet. 

4. Naga besi yang mana? 

Nah, the highlight of this post. Tentu saja si naga besi. Kereta dari Hanoi menuju Sapa, tidak pernah sampai ke Sapa. Lho? 

Karena, stasiun kereta terakhir, berada di kota Lao Cai. Dan kita harus meneruskan perjalanan menuju Sapa, dengan menggunakan moda transportasi lain:  Bis lokal, Minivans, Taxi atau private transfer melalui hotel. 

Pada saat saya berusaha mencari info tentang perjalanan menggunakan kereta dari Hanoi, sempat membuat saya sedikit bingung juga. Memilih dari beberapa opsi kereta. Saya banding-bandingkan harga dan juga fasilitas. 

Pada dasarnya, semua jenis kereta luxury yang mengarah ke Lao Cai ini, semua menginduk pada rangkaian kereta SP3 milik Vietnam Railways. Beberapa brand kereta luxury ini, secara fasilitas dan harga kayanya hanya beda-beda tipis. Dan akhirnya, setelah proses research yang cukup rigourous ๐Ÿ˜‚ Saya memutuskan memakai Vic Sapa. 



Alasan utamanya, saya suka interiornya ๐Ÿ˜ฌ Ala2 oriental express on budget. Reviewnya juga hampir semua tonenya positif. Secara harga juga, masih oke buat saya, dan terakhir, Vic Sapa punya punya lounge sendiri (walo lebih mirip kaya warung kecil sih) di GA (stasiun kereta) Lao Cai, dan kenapa lounge ini penting buat saya? Yeap, ada fasilitas shower roomnya. Dan ini gak banyak orang yang tau dan menyediakan info ini. 

Perjalanan kereta SP3 ini dimulai dari jam 22.00, sampai Lao Cai, jam 05.55. Semua orang turun dengan mata sepet, setengah ngantuk. Dan hampir dipastikan, kalo foreigner yang turun, semua bakal menuju Sapa dalam waktu bersamaan. 

Pada saat berangkat, kondektur kereta menawarkan kendaraan minivan terusan untuk menuju Sapa, tapi saya skip. Karena saya rencananya, memang tidak akan langsung menuju Sapa. Tetapi bakal ke lounge dulu, numpang mandi dan sarapan. Saat itu, saya berencana untuk melihat inland border antara Lao Cai, VN dan Hekou Border, di sisi PRC. 

Untuk menggunakan shower room ini gratis buat penumpang Vic Sapa, kalo penumpang kereta lain, saya kurang paham juga bayarnya berapa.  Walaupun gratis, biar enak, yah jajan aja minuman atau makanan ringannya disitu, biar gak berasa kagok juga numpang mandi dan rehatnya ๐Ÿ˜ฌ




Nah, cara bookingnya gimana sih?

Saya bookingnya langsung di website vic sapanya.  Di sini


Karena pas buka websitenya, saya baca notice di blok merah itu, kalo mereka tidak buka booking via third party, dan kemungkinan double booking bisa terjadi, atau sialnya booking failed kalo lewat agent, makanya saya cuma berani booking langsung via websitenya. 

Dan booking sesuatu di Vietnam ini, misal booking hotel ataupun transportasi secara langsung, yang tidak menggunakan thirdparty OTA kaya agoda atau 12go.asia, akan sedikit membingungkan dan juga was-was, kalo baru pertama kali melakukannya. 

Hal ini karena, pembayaran dilakukan melalui payment gateaway yang kita belum biasa pakai. Jadi, pada saat saya booking vicsapa, 90% sisa booking, dilakukan secara manual, melalui komunikasi email yang intens dengan tim CS Vic Sapa.

Begitu booking, kita langsung mendapatkan email, yang berisi jadwal, jumlah orang yang kita booking. Kita harus membalas bahwa booking tsb sudah benar.

Lantas akan ada email balasan yang berisi alamat payment gateaway (VTC pay), jumlah harga yang harus kita bayar ditambah 4% credit card surcharged, dan dalam email ini juga menyebutkan kalo booking kita akan dihold selama 8 jam. Jika kita tidak melakukan pembayaran dirange waktu tsb, booking otomatis batal. Credit card yang diterima hanya Visa dan Mastercard.

Setelah kita berhasil membayar, kita harus membalas email kembali, dan juga menuliskan nama lengkap dan tahun kelahiran penumpang untuk penerbitan TRAIN VOUCHER. Saat ini, prosesnya kita hanya akan menerima soft copy train voucher. Ticket kereta fisik hanya bisa diterbitkan oleh Vietnam Railways pada hari keberangkatan. Dan bisa dikirimkan bentuk fisiknya ke hotel kita di Hanoi, atau seperti saya, saya hanya dikirimkan foto fisik tiketnya via email. Dan itu sama sekali tidak ada masalah. 




Yang saya suka dari proses komunikasi via email dengan CS Vic Sapa ini, Mrs. Nguyen, sangat gercep menjawab pertanyaan2 dari saya. Setelah sebelumnya saya punya pengalaman buruk dengan jasa transportasi yang saya pakai dan susah banget dapet solusi karena si perusahaan tadi cuma pakai bot, makanya, saat saya bisa komunikasi dengan manusia beneran yang bisa kasih saya jawaban2 memuaskan, bener2 bikin saya relieved aja gt.

H-1 keberangkatan, saya diemail lagi sama Mrs. Nguyen, ditanya apa sudah sampai Hanoi atau belum. Dia juga menginfokan beberapa hal soal check in di gate mana pada saat di Ga Hanoi nanti. 

Oh iya, saya musti menggaris bawahi, nih. Stasiun kereta Hanoi ini old school banget, masih menggunakan bangunan kolonial, dan jauh dari kata modern. Biar teman-teman gak bingung, saat sampai ke Ga Hanoi, masuk dari pintu utama, langsung aja naik ke lantai 2nya. Kalo kita dateng jam 20.00, karena SP3 baru cabut jam 22.00, ini masih bakal berasa "kepagian". Kalo belum banyak orang, nunggu sendirian di atas akan berasa sedkit horror๐Ÿ˜… Lampunya kuning temaram, ada beberapa bagian gedungnya yang ruangannya gelap. Dan oh, ga usah pengen pipis ๐Ÿ˜‚ Tahan aja ntar di kereta๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚

Nanti jam 21.00 lebih bakal ada mas-mas pake seragam kereta masing2, siap bertugas. Mereka biasanya berdiri deket2 gate. VicSapa itu kalo ga salah satu group dengan Chapa express train juga, jadi saat saya boarding check, cuma ngeliatin foto tiket aja ke Mas-masnya yang kebeneran pake seragam Chapa Express

Selebihnya, kita tinggal ikutin aja petunjuk di email, untuk melihat kita ada cabin no berapa. Perjalanan juga startnya on time. Tadinya saya pikir, bakal susah tidur, ternyata nyaman-nyaman aja kok. Waktu itu, saya pesen 2 low berth di cabin yang isi 4 penumpang. Lucky us, karena mungkin lagi low season, tidak ada penumpang lain. 

Saat sampai di Lao Cai, seperti yang saya tulis di atas. Saya sih langsung belok ke Chapa lounge. Numpang mandi dan sarapan.Terus ada warlok yang mendekati, menanyakan apa saya yang order mobil dia. Saya bilang bukan. Saya agak "warry" sih kalo dideketin orang asing saat lagi travelling gini. Street smart aja. Tidak semua orang itu baik. Scamming itu nyata. Akhirnya dia menawarkan jasa dia untuk mengantar ke Sapa, sebesar VND600.000, tetapi saya tolak.  Akhirnya dia pergi. 

Buat teman-teman yang mau menuju Sapa, tidak usah khawatir. Kendaraan menuju Sapa tersedia di luar stasiun kereta. Begitu kita keluar stasiun, di sebelah kiri, ada terminal yang lumayan besar. Berisi bis-bis lokal ke arah Sapa atau Hagiang, ada juga minivan. Jika mau naik bis lokal kaya saya, ongkosnya saat itu cuma VND 20.000 saja. Perjalanan juga nyaman-nyaman saja, karena body bisnya lumayan gede, jadi rasanya motion sickness tidak terlalu berasa seperti kendaraan kecil.


Lha, katanya ga suka pake bis. Di atas, saya gak mau pake overnight bus pas malem-malem dengan jalan yang berkelok-kelok macem rute Lao Cai-Sapa. Itu yang bikin saya berasa serem. Tapi kalo pagi-pagi sih, saya berasa aman-aman aja. Meski, dijalan tsb, saya sempet nemu juga yang kecelakaan. ๐Ÿ˜… Tapi untungnya sih, kayanya tidak berat kecelakaannya. 

Oh iya, selain bis. Minivan dari Lao Cai juga bisa kita booking dari 12go atau bookaway. Jika ada keluarga yang membawa anak kecil, mungkin bisa minta bantuan dari hotel untuk pake private transfer. Jadi sesuaikan saja dengan gaya travelnya masing-masing aja yah, teman-teman.

Jika masih ada pertanyaan lain, boleh drop dikomen saja yah, InsyaAllah, saya akan bantu jawab jika saya tahu jawabannya ^^ 






Thursday, October 1, 2015

Manzakine*, Marrakech!

(Hello in Berber)




Sbar Elkhair!Good Morning..


Pagi pertama
Langit masih berwajah sedikit gelap. Di kejauhan nuansa biru mulai sedikit menggulung sisa dini hari. Dengan mata yang masih tertutup setengah, saya menerka bahwa kami telah sampai di tujuan, Marakkech. Menembus malam, dijalanan aspal yang mulus sepanjang 569km, saya tidur nyenyak seperti bayi. Meski saya sempat terbangun beberapa kali, membetulkan posisi badan yang melorot, karena "sumpah", di Maroko ini, tidak ada yang namanya perempatan yang memiliki lampu lalu lintas. Setiap ruas jalan dipisahkan dengan "round about" alias bundaran. Jadilah si bis berjalan berkelok-kelok. 


Saya berangkat dari Tangier menumpang bis CTM sekitar jam 9 malam, dan saat ini sekitar jam 5 pagi kurang, kami telah sampai di depot bis CTM. Untungnya depot bisnya nyaman dan bersih. Sambil menunggu matahari muncul, saya dan kawan memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu di kantinnya. Harum croissant yang baru keluar dari pemanggangan, sangat tercium genit di hidung. Setelah kurang lebih 1 jam, akhirnya kami memutuskan pergi menuju hotel kami yang terletak di Djema El Fna. Jantungnya Marrakech.

Bernegoisasi dengan supir taksi, kami sepakat di angka 40 Dirham. Sebenarnya bisa lebih murah lagi, tapi ya sudahlah. Kami hanya ingin segera sampai di hotel. Senyamannya jok bis, tidur dengan posisi menekuk duduk selama 8 jam, otot dan urat butuh diluruskan. 15 menit kemudian, kami sampai. Hm, yah setidaknya mendekati tujuan. Kami di turunkan di pinggir plaza, si supir taksinya bilang, kalo hotel yang dituju terletak didalam dan mobil tidak bisa masuk. Okeh. Akhirnya kami turun dengan sedikit terhuyung.

plaza menuju jantung Djema El Fna. Sejak siang, terutama malam hari. Tak ada spot yang lengang di area ini

Hotel yang kami inapi bernama Hotel Cecil. Posisinya sangat strategis, tepat berada disisi terluar Djema El Fna. Dari jalan raya utama hanya butuh berjalan sekitar 5 menit saja, dan mungkin 10 menit jika berjalan santai. Bersyukur kami tak sempat tersesat saat mencarinya. Kami terhindar dari kisah horor yang saya baca di berbagai forum travel yang berbagi cerita betapa mereka frustasi saat mencari hotel atau hostel mereka diantara labirin-labirin Djema El Fna.

Hotel ini terletak di sebuah gang pertama setelah belokan, berhadapan dengan cafe Argana, yang tahun 2011 lalu hancur karena bom bunuh diri. Dari kejauhan, nama cafe ini sudah bisa terlihat dan bisa dijadikan sebagai patokan. Sebelum berbelok ke gang, saya sempat menebar pandangan. Suasana masih sepi. Hanya sedikit orang yang berlalu lalang. Nampak beberapa pekerja mulai menyapu sampah yang tercecer di jalanan. Beberapa anak sekolah dengan rambut tebal hitam tersisir rapi jalan beriringan. Ini adalah keseharian.


Gang hotel menuju Djema El Fna


Sedikit bau pesing mengambang di udara saat saya akhirnya melintas gang. Seorang tuna wisma masih tertidur di antara kardus, dan trolley yang berisikan entah apa. Saya terus berjalan ke dalam. Dinding-dinding yang membatasi gang berwarna merah tua. Mata saya terus nyalang, mencari plang atau apapun yang mengindikasikan tempat yang saya cari. Dari kejauhan, nampak seorang pemuda bertubuh besar, keluar dari sebuah pintu coklat yang berada disebelah kiri saya. Otomatis mata saya tertuju kepadanya, dan saat saya mengubah sekian derajat bola mata saya ke atas, pemuda itu tepat berdiri dibawah plang “Hotel cecil”. Bergegas, pemuda tersebut melewati kami.


Berjalan sekitar 5 meter, saya sampai di depan pintu hotel yang tertutup rapat. Saat itu masih jam 6 lewat sedikit. Setelah mengetuk, barulah ada yang membukakan pintu. Matanya sembap, nampaknya saya memutus raintai tidurnya. Saya mengucap maaf, dan tanpa keramahan yang manis, dia bilang “It's okay”. Sebelumnya saya sudah mengemail bahwa saya akan sampai pagi hari, dan mereka mengiyakan permintaan saya untuk early check in. Lelaki berperawakan kecil tersebut langsung sigap meminta paspor saya. Saya juga menyorongkan handphone yang berisi data pesanan saya, saat dia nampak gamang mencari-cari nama saya di buku panjang kecil yang mengingatkan saya pada mang Asep, tukang sayur di rumah yang memiliki buku serupa, tempatnya mencatat pesanan ibu-ibu.

Tak lama, proses check in selesai. Dia mempersilahkan kami menunggu kamar dipersiapkan. Bulan Maret termasuk shouldered season, peralihan dari low season menuju high season. Maroko merupakan destinasi wisata all year round, artinya setiap bulan apapun, akan selalu ada turis yang menghabiskan liburannya disini. Jika saat high season, tentu saja, selain harga-harga akan segera membuat dompet bocor, ketersediaan penginapan menjadi penuh persaingan, dan manusia yang memenuhi titik wisata akan sangat membuncah.




Saya memesan 1 buah kamar dengan 2 bed dengan km luar seharga 19 Euro permalam. Cukup murah, dengan posisinya yang menurut saya sih sangat strategis. Biasanya kamar yang saya tempati berharga sekitar 45-50 euro per malam saat high season. Saat sampai ke kamar, saya sempat terkejut, karena kamar yang bakal ditempati ternyata memuat 3 bed. 2 single bed dan 1 buah double bed. Jadinya kami bebas mau memilih tidur dimana saja. Saya menempati 1 bed disebelah kanan, sementara kawan saya memilih ranjang yang luas, mungkin rindu berguling-guling ala film India. Setelah rebahan, bunyi krotok-krotok tulang adalah bukti yang paling valid kalo kami butuh istirahat. Jadilah kami sepakat, bakal meneruskan tidur setelah sempat numpang sarapan di atas rooftop. 






Tuesday, September 22, 2015

I'm Feeling Blue


He who does not travel will not know the value of men-Moorish proverb







Hari terakhir di Chef, sedari pagi saya sudah melipir kesana kemari. Sebenernya saya masih merasa betah di sini. Tapi rencana tetap harus berjalan, esok hari, saya sudah harus berada di Marrakesh. Saya masih punya waktu sepagian ini hingga jam 10 untuk menyesatkan diri kembali di antara labirin kota tua chefchaouen yang berundak-undak. Semakin menerabas ke dalam jantungnya, bauran gradasi berbagai kelir biru mengingatkan saya pada lukisan “Blue nude” Georgia O' Keeffe. Tak ada tercium bau lembap, meski dibeberapa area sinar matahari tak sampai.



Selain warna biru, tersedia juga warna genit lainnya untuk mengecat rumah


Saya melewati warung sederhana yang menjual serupa kue-kue lokal. Sang pemilik warung sekaligus chef nampak sibuk mengolah kuenya in situ.  Tapi sayang, beliau tidak mau saya foto. Yah sudahlah, cukup kue-kuenya saja yang saya abadikan dalam foto dan ingatan. Saya mencoba mencicipnya, tapi bah! Gigi sensitif saya dibuat ngilu akibat rasa manis dari gula.



Beranjak dari sana, saya terus berjalan tak tentu arah. Kadang berhenti sejenak saat sampai di perempatan atau pertigaan; berpikir. Belok kanan? Kiri? ke atas? ke bawah? Menyenangkan! Tak ada konsekuensi, tak ada benar-salah. Setelah 2 jam lebih berjalan, saya sampai kembali di Medina. Dari kejauhan terdengar hiruk pikuk dan suara semacam raungan? Dan rebana!Hoh, mereka sedang menari. Tentu saja saya mendekat.


Keriuhan yang mengundang massa untuk mendekat, musiknya sangat hipnotik, setidaknya buat saya


Dan sayapun sempat mengabadikannya dalam bentuk video. Silahkan ditonton aja yah disini;




Sunday, September 20, 2015

Mutiara Biru, Pendera Rindu




Salah satu sudut Chefchaouen beranak tangga


Matahari menerobos sela dahan, berkelit di antara buah jeruk berkelir oranye tua. Saya mengaso di loteng penginapan, setelah sedari pagi menjelajah sebuah bukit di utara Chefchaouen. Segelas jeruk peras segar rumahan, dan panekuk lokal bernama Msemen yang dicocol pada selai cranberry pun tandas dalam hitungan menit. Deru air yang mengalir di sebuah parit kecil, udara yang bersih, dan angin yang mendayu ternyata sanggup memecah lelah yang sempat menerpa, segampang saya menyeka sebutir keringat dikening dengan ujung lengan baju saya.

Terawang kota di bawah langit Afrika
Seraya menutup pintu hostel pelan-pelan, saya sempat bersirobok pandang dengan seekor kucing liar gemuk, yang menggulungkan badannya seperti bola supaya tetap hangat. Sekejap kemudian, saya telah berada di antara dinding tua bercat biru. Suasana nampak sunyi, gelap masih sedikit tersisa di udara, karena matahari pun masih sembunyi.

Djama Boulazar

Mendekati Bab Muqaddam; satu dari sekian akses masuk menuju kota tua, saya melewati sebuah rumah kecil yang pintu dapurnya sedikit terbuka. Nampak cahaya lampu kuning berpijar dari dalam, dan aroma roti tradisional Maroko bernama Khobz yang baru matang, menghambur keluar, bergulung dengan aliran hawa dingin yang datang dari pegunungan. Segar dan mengundang. Ada sedikit rasa penasaran yang menggelitik saya untuk mendatangi pintu tersebut. Tetapi godaan untuk segera menikmati mutiara biru dari ketinggian mendorong saya untuk terus melangkahkan kaki, dan mengarahkannya ke atas bukit, tempat Djama Boulazar berada. Masjid ini merupakan bangunan yang bersejarah, setelah sebelumnya rusak berat akibat invasi bangsa Spanyol, kembali elok setelah selesai direstorasi tahun 2013 lalu. Ia menjadi titik favorit untuk menikmati moleknya si mutiara biru beberapa jengkal di bawah awan.


Chefchaouen di pagi hari, saat matahari lambat laun menyapu gelap diseluruh kota

Setelah 20 menit berjibaku dengan nafas pendek dan serakan batu kerikil. Akhirnya saya sampai di mesjid tersebut. Keringat meluncur bebas, mulut saya menganga, sibuk mengolah oksigen sekaligus terpana dengan kecantikan yang terhampar di depan mata. Wow! Sungguh takjub menyaksikan bagaimana matahari yang lambat laun bergeser menyapu gelap di sebuah kota. Awan-awan mulai berarak, menaungi pucuk-pucuk pegunungan Rif yang gagah. Saya kehabisan kata adjektiva. Semua terlihat besar, gigantis dan magis. Barulah saya sadar, jika saat itu sedang berada di bawah langit Afrika.



Chefchaouen dari atas Djama Boulazar menjelang petang

























Jika ingin menikmati pemandangan tersebut tanpa berjejalan dengan yang lain, datanglah pagi sekali. Jangan pada sore hari!Yah, melihat matahari terbenam sepertinya ide yang brilian. Tetapi pada kenyataannya, suasana terlalu hiruk pikuk, belum lagi kebisingan yang datang dari sebuah speaker mungil yang melantunkan hiphop dengan bahasa Arab berber, agak sedikit menerbitkan geli dan mengaburkan rasa syahdu.


Jelajah taman nasional
Menuju pulang, saya kembali melewati jalan setapak yang merupakan bagian dari Talassemtane National Park dengan luas hampir 145.000 hektar. Taman ini memiliki beberapa spesies hewan langka dan juga vegetasi yang khas serupa pohon pinus hitam, pohon cedar dan juga pohon Elbow yang konon hanya tumbuh di daerah ini saja. Sayang sekali saya tidak memakai perlengkapan hiking yang memadai. Setidaknya sepatu yang layak untuk dipakai menjelajah medan terjal. Padahal saya tertarik sekali mengunjungi air terjun bernama Akchcour, yang berada di jantung taman tersebut.


Punggung gunung batu, bagian dari Taman Nasional Talassemtane

Hari sebelumnya saya sempat berbincang dengan dua kawan dari Australia. Mereka menyarankan untuk menyewa guide lokal jika ingin hiking. Karena, di beberapa areal taman tersebut, kadang kita melewati beberapa perkebunan hashish ilegal, yang dijaga orang-orang bersenjata. Meski tidak pernah terdengar kabar ada pelancong yang celaka, tetapi lebih baik mengambil jalur aman saja. Pegunungan Rif merupakan sentra perkebunan daun memabukkan tersebut, hasil produksinya diselundupkan dan menjadi komoditas yang paling dicari di cafe-cafe Amsterdam, Belanda. Di Maroko sendiri, menanam dan memiliki barang tersebut tetap merupakan perbuatan melanggar hukum. Hal ini cukup kontradiktif, karena pada kenyataannya, mengisap Kif yang merupakan salah satu hasil sampingan dari olahan daun tersebut, terutama bagi kaum pria yang masih kental pengaruh tribalnya, merupakan sesuatu yang dianggap lumrah.

Ras El Maa, Tempat ngadem warga Chefchaouen di musim panas

Tak bisa hiking, jadi sayapun cukup puas memandangi punggung gunung batu yang menjulang dari kejauhan. Sedikit melipur lara, saya pun melipir ke Ras el Maa, yaitu sebuah mata air yang jadi muasal sungai pembelah bagian terluar Chefchaouen. Ia menjadi pusat bagi warga lokal dan juga pelancong mendinginkan diri saat matahari Afrika bersinar ganas di musim panas. 





Di Ras El Maa ini pula, para wanita setempat biasanya melakukan aktivitas mencuci. Pada saat saya lewat, nampak beberapa wanita paruh baya dan juga gadis belia sedang mencuci karpet dan juga sandang mereka. Saya agak ragu untuk mengabadikannya dalam bentuk foto, khawatir mereka keberatan. Karena bagi warga Maroko, beberapa masih merasa tabu untuk difoto. Namun dengan sedikit senyum dan juga bahasa tubuh, mereka tak mendelik saat mendengar suara klik.



Mari tersesat!

Salah satu Labyrinth didalam kota tua

Seperti laiknya kota-kota lain di Maroko, bagian terdalam Chefchaouen merupakan kota tua. Karena posisinya yang berbukit, siapkan stamina untuk menanjak dan menurun di jalanan beralas batu. Jangan bayangkan bangunan di dalamnya tertata secara horizontal, rapih atau segaris. Bangunan saling berhimpit, berlorong dan meliuk seperti labirin. 

Menyesatkan. 

Dan saya sengaja menyesatkan diri saya selama 3 jam di sana dan itu sangat menyenangkan!Bangunan di luar tembok kota tua, meskipun biru tetapi masih diaksentuasi warna lain. Tetapi tepat di jantungnya, kemana mata memandang, berbagai gradasi biru dari mulai biru kehijauan hingga kobal dan sedikit sapuan putih yang menghampar. Pintu-pintu rumah mereka pun sangat cantik dan memiliki berbagai macam ornamen yang berbeda satu sama lain. Saya seperti sedang berada di dalam lukisan Dali. Suasananya nampak terlalu surreal untuk bisa saya cerna secara instan.







Saya sempat mengobrol dengan Hassan, seorang perajin kuningan dan perak yang telah menggeluti profesi turun temurun ini selama 30 tahun lebih. Saat saya sampai di bengkel yang sekaligus menjadi kiosnya, dia sedang menempa sebuah lempeng kuningan yang akan dia jadikan sebagai piring. Saya cuma bisa berdecak kagum dan melemparkan pujian. Keluar dari sana, saya sudah mengantungi 3 buah gantungan kunci berupa lentera dengan ornamen khas Maroko. Sangat unik dan juga detil hingga ke bagian yang terkecil.

Salah satu sudut di workshopnya Hasan, sang artisan


Bubuk biru inilah yang dipakai untuk memulas seluruh bangunan di musim semi


























Dalam ketersesatan saya itu, saya melewati lorong yang merupakan sebuah pasar kecil. Seorang lelaki menghamparkan dagangannya berupa buah jeruk, dan penjual sebelahnya menjual ikan yang nampak seperti sarden. Di deretan lain, seorang pemuda menjual beberapa rempah dan juga buah zaitun. Sebuah toko menjual serbuk berwarna-warni yang dipakai untuk memulas bangunan. Dahulu kala, mereka memakai serbuk yang terbuat dari kulit kerang untuk mencat rumahnya yang disebut tekhelet. Namun di jaman modern ini, mereka memakai bahan sintetis sehingga menghasilkan warna biru yang lebih jreng. Setiap awal musim semi, semua penduduk Chefchaouen memulai ritual untuk mengecat ulang rumah mereka.


Al-Kasbah di jantung Medina

Sayapun sampai di Medina. Nampak Al-kasbah dengan menaranya yang menjulang. Bangunan ini dahulunya merupakan benteng untuk menghalau invasi bangsa Spanyol. Dengan membayar 10 MAD atau setara 16000 rupiah, kita bisa masuk dan melihat taman di dalamnya, serta beberapa ruangan dan juga bekas penjara. Kita juga bisa naik ke menaranya dan melihat sekeliling kota. Sayangnya, tidak tersedia display yang berbahasa Inggris.


Sudut lain Jantung Medina

Di Plaza El uta hamman, yaitu jantungnya medina, nampak jajaran restoran-restoran yang menawarkan makanan khas Maroko serupa tajine (sup sayur dengan isi daging kambing atau domba) yang disajikan dengan couscous. Hati-hati jika bersantap disini, banyak penipunya. Selalu tanyakan pasti harga di awal, mereka bisa berbahasa Inggris tetapi kadang pura-pura tak mengerti. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, seorang backpacker Jepang yang dipaksa untuk membayar lebih dan dikejar hingga keluar restoran.


Salah satu penjual Kerajinan berupa tas tribal yang terbuat dari kulit dan tenunan berber

Selain restoran, di medina juga banyak toko-toko yang menjual souvenir berupa pernak-pernik seperti gantungan kunci, dompet, perhiasan, magnet kulkas dll. Tetapi yang paling menarik minat saya adalah tas-tas kulit dan juga tas kain dengan motif tribal. Dengan pertimbangan durasi perjalanan saya yang masih panjang, saat itu saya berupaya menekan syahwat belanja saya. Tetapi akhirnya iman saya runtuh, dan sebuah tas kulit kecil dijejalkan ke dalam backpack saya. Saya menghibur diri, dan menganggapnya sebagai token pembayar rindu akan Chefchaouen.


Sudut lain Chefchauen, di luar dinding Medina

Beres dari Medina, sayapun mengarah kembali ke utara, untuk kembali ke penginapan. Saat itu, matahari sudah sangat tinggi. Panasnya mulai menusuk ubun-ubun. Berbelok di jalan Avenue Mohammad, tiba-tiba ada seorang yang berteriak dari kejauhan dengan kata yang sangat familiar: “Indonesia? Indonesia?” Sungguh, Chefcahouen kecil dan kabar rupanya bersirkulasi dengan cepat disini. 

Saya pun tersenyum dan membalasnya “Yes, I'm Indonesian!”



Tips:


# Maroko memberlakukan bebas Visa bagi pemegang paspor RI selama 30 hari
# Jika anda sedang berada di Eropa barat, beberapa penerbangan berbujet rendah atau LCC memiliki jadwal penerbangan langsung ke kota Tangier atau kota Fes. Dari Tangier membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam untuk sampai Chefchaouen. Sedangkan dari Fes waktunya sekitar 5 hingga 6 jam.
# Melalui jalur laut, anda bisa menyebrangi selat Gibraltar dari kota Algeciras, Spanyol menuju kota Tangier, Maroko selama 2 jam.
# Ada 2 perusahaan bis yang terbukti kredibilitasnya di antara pelancong, yaitu bis CTM dan Supratour. Bisnya memiliki jadwal tetap dan memiliki sistem yang terintegrasi dengan baik. Tetapi jika kita ketinggalan jadwal dari ke-2 bis tersebut, masih ada bis lokal lainnya yang juga melewati jalur yang sama. Yang berbeda adalah mereka tidak memiliki jadwal tetap dan juga bisnya bukan keluaran terbaru. Tapi jangan khawatir, jalanan di Maroko, meskipun berada di atas pegunungan yang terpencil, permukaannya jauh lebih mulus daripada jalan Kotamadya yang ada di Indonesia.
# Untuk mata uang, Maroko memakai MAD (Maroccan Dirham). Kita bisa langsung menarik uang tersebut di ATM, atau juga menukarkan mata uang Euro, poundsterling atau USD di bank ataupun money changer. Jangan lupa selalu sertakan paspor saat kita menukarkan uang.
# Maroko merupakan destinasi liburan sepanjang tahun. Tetapi biasanya bulan desember hingga februari, dimana cuaca dan iklimnya sangat fluktuatif, bisa dianggap sebagai low season.
# Terkecuali restoran yang ada di medina, tempat makan yang ada di kota Chefchaouen memasang tarif yang wajar. Tetapi selalu tanyakan harga terlebih dahulu supaya lebih yakin.
# Chefchaouen merupakan kota kecil, namun untuk lebih mengapresiasinya secara lebih baik, terutama jika ingin mengeksplor taman nasionalnya, luangkan waktu selama 3-4 hari.   



Note: Post ini merupakan unedited version dari tulisan yang dimuat di rubrik Backpacker HU Pikiran Rakyat, Minggu 13 September 2015flashpackermama.blogspot.com