(Hello in Berber)
Sbar Elkhair!Good Morning.. |
Pagi pertama
Langit
masih berwajah sedikit gelap. Di kejauhan nuansa biru mulai sedikit
menggulung sisa dini hari. Dengan mata yang masih tertutup setengah, saya menerka bahwa kami telah sampai di tujuan, Marakkech. Menembus
malam, dijalanan aspal yang mulus sepanjang 569km, saya tidur nyenyak
seperti bayi. Meski saya sempat terbangun beberapa kali, membetulkan posisi badan yang melorot, karena "sumpah", di Maroko ini, tidak ada yang namanya perempatan yang memiliki lampu lalu lintas. Setiap ruas jalan dipisahkan dengan "round about" alias bundaran. Jadilah si bis berjalan berkelok-kelok.
Saya berangkat dari Tangier menumpang bis CTM sekitar
jam 9 malam, dan saat ini sekitar jam 5 pagi kurang, kami telah sampai di
depot bis CTM. Untungnya depot bisnya nyaman dan bersih. Sambil
menunggu matahari muncul, saya dan kawan memutuskan untuk sarapan
terlebih dahulu di kantinnya. Harum croissant yang baru keluar dari
pemanggangan, sangat tercium genit di hidung. Setelah kurang lebih 1
jam, akhirnya kami memutuskan pergi menuju hotel kami yang terletak
di Djema El Fna. Jantungnya Marrakech.
Bernegoisasi
dengan supir taksi, kami sepakat di angka 40 Dirham. Sebenarnya bisa
lebih murah lagi, tapi ya sudahlah. Kami hanya ingin segera sampai di
hotel. Senyamannya jok bis, tidur dengan posisi menekuk duduk selama
8 jam, otot dan urat butuh diluruskan. 15 menit kemudian, kami sampai. Hm, yah setidaknya mendekati tujuan. Kami di turunkan di pinggir plaza, si supir taksinya bilang, kalo hotel yang dituju terletak didalam dan mobil tidak bisa masuk. Okeh. Akhirnya kami turun dengan sedikit terhuyung.
plaza menuju jantung Djema El Fna. Sejak siang, terutama malam hari. Tak ada spot yang lengang di area ini |
Hotel
yang kami inapi bernama Hotel Cecil. Posisinya sangat strategis,
tepat berada disisi terluar Djema El Fna. Dari jalan raya utama
hanya butuh berjalan sekitar 5 menit saja, dan mungkin 10 menit jika
berjalan santai. Bersyukur kami tak sempat tersesat saat mencarinya. Kami terhindar dari kisah horor yang saya baca di berbagai forum
travel yang berbagi cerita betapa mereka frustasi saat mencari hotel
atau hostel mereka diantara labirin-labirin Djema El Fna.
Hotel
ini terletak di sebuah gang pertama setelah belokan, berhadapan dengan
cafe Argana, yang tahun 2011 lalu hancur karena bom bunuh diri. Dari
kejauhan, nama cafe ini sudah bisa terlihat dan bisa dijadikan
sebagai patokan. Sebelum berbelok ke gang, saya sempat menebar
pandangan. Suasana masih sepi. Hanya sedikit orang yang berlalu
lalang. Nampak beberapa pekerja mulai menyapu sampah yang tercecer
di jalanan. Beberapa anak sekolah dengan rambut tebal hitam tersisir
rapi jalan beriringan. Ini adalah keseharian.
Gang hotel menuju Djema El Fna |
Sedikit
bau pesing mengambang di udara saat saya akhirnya melintas gang.
Seorang tuna wisma masih tertidur di antara kardus, dan trolley yang
berisikan entah apa. Saya terus berjalan ke dalam. Dinding-dinding
yang membatasi gang berwarna merah tua. Mata saya terus nyalang,
mencari plang atau apapun yang mengindikasikan tempat yang saya cari.
Dari kejauhan, nampak seorang pemuda bertubuh besar, keluar dari
sebuah pintu coklat yang berada disebelah kiri saya. Otomatis mata
saya tertuju kepadanya, dan saat saya mengubah sekian derajat bola
mata saya ke atas, pemuda itu tepat berdiri dibawah plang “Hotel
cecil”. Bergegas, pemuda tersebut melewati kami.
Berjalan
sekitar 5 meter, saya sampai di depan pintu hotel yang tertutup
rapat. Saat itu masih jam 6 lewat sedikit. Setelah mengetuk, barulah
ada yang membukakan pintu. Matanya sembap, nampaknya saya memutus
raintai tidurnya. Saya mengucap maaf, dan tanpa keramahan yang manis,
dia bilang “It's okay”. Sebelumnya saya sudah mengemail bahwa
saya akan sampai pagi hari, dan mereka mengiyakan permintaan saya
untuk early check in. Lelaki berperawakan kecil tersebut
langsung sigap meminta paspor saya. Saya juga menyorongkan
handphone yang berisi data pesanan saya, saat dia nampak gamang
mencari-cari nama saya di buku panjang kecil yang mengingatkan saya
pada mang Asep, tukang sayur di rumah yang memiliki buku serupa,
tempatnya mencatat pesanan ibu-ibu.
Tak lama, proses check in
selesai. Dia mempersilahkan kami menunggu kamar dipersiapkan. Bulan
Maret termasuk shouldered season,
peralihan dari low season
menuju high season. Maroko
merupakan destinasi wisata all year round,
artinya setiap bulan apapun, akan selalu ada turis yang menghabiskan
liburannya disini. Jika saat high season, tentu saja, selain
harga-harga akan segera membuat dompet bocor, ketersediaan penginapan
menjadi penuh persaingan, dan manusia yang memenuhi titik wisata akan
sangat membuncah.
Saya memesan 1 buah kamar dengan 2 bed dengan km luar seharga 19 Euro permalam. Cukup murah, dengan posisinya yang menurut saya sih sangat strategis. Biasanya kamar yang saya tempati berharga sekitar 45-50 euro per malam saat high season. Saat sampai ke kamar, saya sempat terkejut, karena kamar yang bakal ditempati ternyata memuat 3 bed. 2 single bed dan 1 buah double bed. Jadinya kami bebas mau memilih tidur dimana saja. Saya menempati 1 bed disebelah kanan, sementara kawan saya memilih ranjang yang luas, mungkin rindu berguling-guling ala film India. Setelah rebahan, bunyi krotok-krotok tulang adalah bukti yang paling valid kalo kami butuh istirahat. Jadilah kami sepakat, bakal meneruskan tidur setelah sempat numpang sarapan di atas rooftop.
0 comments:
Post a Comment