Saat saya masih terkantuk-kantuk disebuah bis tua selama 3 jam, tiba-tiba supirnya menghentikan laju bisnya di pinggir jalan. Sang kernet, dengan bahasa Berber berbalut patahan bahasa Inggris, menyuruh saya dan teman perjalanan saya untuk segera turun. Gamang, saya pun memastikan lagi bahwa ini adalah betul tujuan saya, Chefchaouen (baca : Shafshāwan), kota kecil yang tersemat di hamparan pegunungan Rif nan gigantis, di timur laut Maroko.
“On
peut aller au Chefchaouen”
kata saya dalam bahasa Prancis.” Kami ingin pergi ke Chefchaouen”.
Maroko memang pernah menjadi koloni Prancis selama 44 tahun, sebelum
merdeka ditahun 1956. Beberapa orang juga dapat berbahasa Spanyol
karena kedekatan kultural dan geografis mereka. “Oui,
ici, Chefchaouen.”
jawab kernet tadi.” Yah, ini Chefchaouen.”
Karena
beberapa orang lokal turun, maka kami ikut turun. Sempat bingung, tapi kami melihat mereka yang turun pun menumpang grand taxi, maka kami pun menaiki grand taxi tersebut; berupa mercy tua yang melaju kencang, berjejalan dengan 6 orang
lainnya. Bukan sarana transportasi bagi pengidap Klaustrofobia.
Saya duduk di belakang, terhimpit diantara 2 nona bertubuh semampai dan seorang perempuan paruh baya yang mengambil 2/3 dari jatah tempat duduk kami. Sementara kawan saya duduk di depan, terhimpit di antara supir, perseneling dan seorang backpacker berambut blonde, yang tak sengaja mematahkan pegangan pintu saat si supir melaju kencang di jalan yang berkelok.
20 menit berikutnya, kami telah berada di tengah kota. Padahal Ali, pemilik penginapan kami, telah menunggu di stasiun bis. Ternyata setelah saya googling beberapa hari berikutnya, tempat tadi kami di turunkan adalah sebuah area bernama Derdara, yang terletak di Jalan raya provisi dan memang masih berjarak sekitar 8Km dari Chefchaouen. Baiklah, hal yang menyenangkan dari sebuah perjalanan adalah saat
sesuatu berjalan diluar rencana. Selalu siapkan plan B!
Muasal
biru
Merunut pada sejarah berdirinya, kota benteng ini didirikan oleh Sidi Moulay Mohammed bin Ali bin Musa bin Rashid al-Hassani Idrissi pada tahun 1471, untuk menampung pengungsi muslim dari Andalusia yang terusir dari Spanyol. Pengungsi Yahudi yang melarikan diri dari kekejaman Nazi ditahun 30an pun, mencari suaka di kota ini. Kedatangan kaum Yahudi inilah yang menjadi muasal kota ini berwarna biru. Dalam kepercayaan Judaisme, mereka selalu memulas bangunan rumah mereka dengan pigmentasi biru sebagai simbol kedekatan dengan langit dan Tuhan. Kaum Yahudi hanya bermukim sebentar di Chefchaouen. Namun sisa akulturasi budaya berupa pulasan biru telah diadopsi warga setempat. Salah satu alasannya konon, nyamuk-nyamuk jadi tidak suka bertandang ke rumah.
Meriahnya
malam jum’at di Chefchaouen
Selesai
shalat magrib, kaki ini sudah gatal ingin segera mengeksplor area
sekitar. Hawa lebih terasa bersahabat. Beberapa orang menyapa
“Konichiwa!”. Sambil tersenyum, saya menjawab bahwa kami orang
Indonesia. Mereka pun tersenyum dan mengucapkan selamat datang. Ada
sebuah studi psikologi yang menyebutkan bahwa paparan warna dapat
mempengaruhi jiwa, hal ini nampaknya bisa saya amini. Perihal warna
biru, konon diasosiasikan dengan rasa damai, kebijaksanaan dan
ketentraman, sementara pengaruh secara fisiknya dapat menurunkan
tekanan darah dan ritme nafas, sehingga menenangkan. Penduduk
Chefchaouen memang dikenal lebih santai dan ramah jika dibandingkan
dengan kota lainnya di Maroko.
Saat
saya sampai di depan Bab
Muqaddam,
satu dari tujuh pintu masuk ke kota tua Chefchaouen, suasana sangat
ramai dengan muda-mudi lokal. Mereka membentuk koloni-koloni kecil.
Hal ini mengingatkan saya pada kawasan Dago di malam minggu. Gelak
tawa dan dengungan suara orang yang berbincang memenuhi udara malam.
Saya
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Nampak beberapa pedagang makanan
dengan rodanya dijejali pelanggan. Saya merasa tergelitik untuk
mencoba. Saya coba datangi salah satu roda yang pengunjungnya datang
dan pergi. Ternyata roda ini menjual penganan berupa siput kecil
seperti tutut. Sebuah kejutan. Sebagai pembuka, saya memesan 1 porsi
bubur terlebih dahulu, yang mirip seperti bubur hanjeli, namun bubur
ini rasanya asin.
Makanan
berikutnya, pedagangnya memberikan saya 2 buah mangkok; 1 mangkok
siput, dan 1 mangkok kuahnya. Saya lihat, orang-orang sibuk makan
bergantian antara ke-2 mangkok tersebut. Siput dicukil dengan tusuk
gigi, lanjut menyeruput kuahnya. Sayang sekali, masakannya sangat
minim bumbu. Lidah saya hanya bisa mencecap rasa asin dan anyir saja.
Saat hendak menyantapnya, saya menutup mata, karena siputnya masih
berantena. Tapi harganya cukup murah, semuanya hanya 7 Dirham saja
atau setara dengan 9 ribu rupiah.
Selesai
makan, saya berniat melanjutkan eksplorasi. Rupanya penduduk
Chefchaouen bukan tipikal yang beraktivitas hingga larut. Saat saya
memasuki sebuah pasar malam, pedagangnya mulai sibuk berkemas.
Nampaknya eksplorasi baru dapat dimulai esok pagi.
Note: Posting ini merupakan unedited version dari tulisan yang dimuat di Rubrik Backpacker HU Pikiran Rakyat, Minggu 13 September 2015
0 comments:
Post a Comment