|
Salah satu sudut Chefchaouen beranak tangga |
Matahari
menerobos sela dahan, berkelit di antara buah jeruk berkelir oranye
tua. Saya mengaso di loteng penginapan, setelah sedari pagi
menjelajah sebuah bukit di utara Chefchaouen. Segelas jeruk peras
segar rumahan, dan panekuk lokal bernama Msemen
yang dicocol pada selai cranberry pun tandas dalam hitungan menit.
Deru air yang mengalir di sebuah parit kecil, udara yang bersih, dan
angin yang mendayu ternyata sanggup memecah lelah yang sempat
menerpa, segampang saya menyeka sebutir keringat dikening dengan
ujung lengan baju saya.
Terawang
kota di bawah langit Afrika
Seraya
menutup pintu hostel pelan-pelan, saya sempat bersirobok pandang
dengan seekor kucing liar gemuk, yang menggulungkan badannya seperti
bola supaya tetap hangat. Sekejap kemudian, saya telah berada
di antara dinding tua bercat biru. Suasana nampak sunyi, gelap masih
sedikit tersisa di udara, karena matahari pun masih sembunyi.
|
Djama Boulazar |
Mendekati Bab Muqaddam; satu dari sekian akses masuk menuju kota tua,
saya melewati sebuah rumah kecil yang pintu dapurnya sedikit terbuka.
Nampak cahaya lampu kuning berpijar dari dalam, dan aroma roti
tradisional Maroko bernama Khobz yang baru matang, menghambur
keluar, bergulung dengan aliran hawa dingin yang datang dari
pegunungan. Segar dan mengundang. Ada sedikit rasa penasaran yang
menggelitik saya untuk mendatangi pintu tersebut. Tetapi godaan untuk
segera menikmati mutiara biru dari ketinggian mendorong saya untuk
terus melangkahkan kaki, dan mengarahkannya ke atas bukit, tempat
Djama Boulazar berada.
Masjid
ini merupakan bangunan yang bersejarah, setelah sebelumnya rusak
berat akibat invasi bangsa Spanyol, kembali elok setelah selesai
direstorasi tahun 2013 lalu. Ia menjadi titik favorit
untuk menikmati moleknya si mutiara biru beberapa jengkal di bawah
awan.
|
Chefchaouen di pagi hari, saat matahari lambat laun menyapu gelap diseluruh kota
|
Setelah 20
menit berjibaku dengan nafas pendek dan serakan batu kerikil.
Akhirnya saya sampai di mesjid tersebut. Keringat meluncur bebas,
mulut saya menganga, sibuk mengolah oksigen sekaligus terpana dengan
kecantikan yang terhampar di depan mata. Wow! Sungguh takjub
menyaksikan bagaimana matahari yang lambat laun bergeser menyapu
gelap di sebuah kota. Awan-awan mulai berarak, menaungi pucuk-pucuk
pegunungan Rif yang gagah. Saya kehabisan kata adjektiva. Semua
terlihat besar, gigantis dan magis. Barulah saya sadar, jika saat itu
sedang berada di bawah langit Afrika.
|
Chefchaouen dari atas Djama Boulazar menjelang petang |
Jika ingin
menikmati pemandangan tersebut tanpa berjejalan dengan yang lain,
datanglah pagi sekali. Jangan pada sore hari!Yah, melihat matahari
terbenam sepertinya ide yang brilian. Tetapi pada kenyataannya,
suasana terlalu hiruk pikuk, belum lagi kebisingan yang datang dari
sebuah speaker mungil yang melantunkan hiphop dengan bahasa
Arab berber, agak sedikit menerbitkan geli dan mengaburkan rasa
syahdu.
Jelajah
taman nasional
Menuju
pulang, saya kembali melewati jalan setapak yang merupakan bagian
dari Talassemtane National Park
dengan luas hampir 145.000 hektar. Taman ini memiliki beberapa
spesies hewan langka dan juga vegetasi yang khas serupa pohon pinus
hitam, pohon cedar dan juga pohon Elbow yang konon hanya tumbuh di
daerah ini saja. Sayang sekali saya tidak memakai perlengkapan hiking
yang memadai. Setidaknya sepatu yang layak untuk dipakai menjelajah
medan terjal. Padahal saya tertarik sekali mengunjungi air terjun
bernama Akchcour,
yang berada di jantung taman tersebut.
|
Punggung gunung batu, bagian dari Taman Nasional Talassemtane |
Hari
sebelumnya saya sempat berbincang dengan dua kawan dari Australia.
Mereka menyarankan untuk menyewa guide
lokal jika ingin hiking.
Karena, di beberapa areal taman tersebut, kadang kita melewati
beberapa perkebunan hashish
ilegal, yang dijaga orang-orang bersenjata. Meski tidak pernah
terdengar kabar ada pelancong yang celaka, tetapi lebih baik
mengambil jalur aman saja. Pegunungan Rif merupakan sentra perkebunan
daun memabukkan tersebut, hasil produksinya diselundupkan dan menjadi
komoditas yang paling dicari di cafe-cafe Amsterdam, Belanda. Di
Maroko sendiri, menanam dan memiliki barang tersebut tetap merupakan
perbuatan melanggar hukum. Hal ini cukup kontradiktif, karena pada
kenyataannya, mengisap Kif yang merupakan salah satu hasil sampingan
dari olahan daun tersebut, terutama bagi kaum pria yang masih kental
pengaruh tribalnya, merupakan sesuatu yang dianggap lumrah.
|
Ras El Maa, Tempat ngadem warga Chefchaouen di musim panas |
Tak bisa
hiking, jadi sayapun cukup puas memandangi punggung gunung batu yang
menjulang dari kejauhan. Sedikit melipur lara, saya pun melipir ke
Ras el Maa, yaitu sebuah mata air yang jadi muasal sungai pembelah
bagian terluar Chefchaouen. Ia menjadi pusat bagi warga lokal dan
juga pelancong mendinginkan diri saat matahari Afrika bersinar ganas
di musim panas.
Di Ras El Maa ini pula, para wanita setempat biasanya melakukan aktivitas mencuci. Pada saat saya lewat, nampak beberapa wanita paruh baya dan juga gadis belia sedang mencuci karpet dan juga sandang mereka. Saya agak ragu untuk mengabadikannya dalam bentuk foto, khawatir mereka keberatan. Karena bagi warga Maroko, beberapa masih merasa tabu untuk difoto. Namun dengan sedikit senyum dan juga bahasa tubuh, mereka tak mendelik saat mendengar suara klik.
Mari
tersesat!
|
Salah satu Labyrinth didalam kota tua |
Seperti
laiknya kota-kota lain di Maroko, bagian terdalam Chefchaouen
merupakan kota tua. Karena posisinya yang berbukit, siapkan stamina
untuk menanjak dan menurun di jalanan beralas batu. Jangan bayangkan
bangunan di dalamnya tertata secara horizontal, rapih atau segaris.
Bangunan saling berhimpit, berlorong dan meliuk seperti labirin.
Menyesatkan.
Dan saya sengaja menyesatkan diri saya selama 3 jam
di sana dan itu sangat menyenangkan!Bangunan di luar tembok kota tua,
meskipun biru tetapi masih diaksentuasi warna lain. Tetapi tepat
di jantungnya, kemana mata memandang, berbagai gradasi biru dari mulai
biru kehijauan hingga kobal dan sedikit sapuan putih yang menghampar.
Pintu-pintu rumah mereka pun sangat cantik dan memiliki berbagai
macam ornamen yang berbeda satu sama lain. Saya seperti sedang berada
di dalam lukisan Dali. Suasananya nampak terlalu surreal untuk
bisa saya cerna secara instan.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Saya sempat
mengobrol dengan Hassan, seorang perajin kuningan dan perak yang
telah menggeluti profesi turun temurun ini selama 30 tahun lebih.
Saat saya sampai di bengkel yang sekaligus menjadi kiosnya, dia
sedang menempa sebuah lempeng kuningan yang akan dia jadikan sebagai
piring. Saya cuma bisa berdecak kagum dan melemparkan pujian. Keluar
dari sana, saya sudah mengantungi 3 buah gantungan kunci berupa
lentera dengan ornamen khas Maroko. Sangat unik dan juga detil hingga
ke bagian yang terkecil.
|
Salah satu sudut di workshopnya Hasan, sang artisan
|
|
Bubuk biru inilah yang dipakai untuk memulas seluruh bangunan di musim semi |
Dalam
ketersesatan saya itu, saya melewati lorong yang merupakan sebuah
pasar kecil. Seorang lelaki menghamparkan dagangannya berupa
buah jeruk, dan penjual sebelahnya menjual ikan yang nampak seperti
sarden. Di deretan lain, seorang pemuda menjual beberapa rempah dan
juga buah zaitun. Sebuah toko menjual serbuk berwarna-warni yang
dipakai untuk memulas bangunan. Dahulu
kala, mereka memakai serbuk yang terbuat dari kulit kerang untuk
mencat rumahnya yang disebut tekhelet.
Namun di jaman modern ini, mereka memakai bahan sintetis
sehingga menghasilkan warna biru yang lebih jreng. Setiap awal musim
semi, semua penduduk Chefchaouen memulai ritual untuk mengecat ulang
rumah mereka.
|
Al-Kasbah di jantung Medina
Sayapun sampai di Medina. Nampak Al-kasbah dengan menaranya yang menjulang. Bangunan ini dahulunya merupakan benteng untuk menghalau invasi bangsa Spanyol. Dengan membayar 10 MAD atau setara 16000 rupiah, kita bisa masuk dan melihat taman di dalamnya, serta beberapa ruangan dan juga bekas penjara. Kita juga bisa naik ke menaranya dan melihat sekeliling kota. Sayangnya, tidak tersedia display yang berbahasa Inggris.
|
|
Sudut lain Jantung Medina |
Di Plaza
El uta hamman, yaitu jantungnya medina, nampak jajaran
restoran-restoran yang menawarkan makanan khas Maroko serupa tajine
(sup sayur dengan isi daging kambing atau domba) yang disajikan
dengan couscous. Hati-hati jika bersantap disini, banyak
penipunya. Selalu tanyakan pasti harga di awal, mereka bisa berbahasa
Inggris tetapi kadang pura-pura tak mengerti. Saya melihat dengan
mata kepala sendiri, seorang backpacker Jepang yang dipaksa
untuk membayar lebih dan dikejar hingga keluar restoran.
|
Salah satu penjual Kerajinan berupa tas tribal yang terbuat dari kulit dan tenunan berber |
Selain
restoran, di medina juga banyak toko-toko yang menjual souvenir
berupa pernak-pernik seperti gantungan kunci, dompet, perhiasan,
magnet kulkas dll. Tetapi yang paling menarik minat saya adalah
tas-tas kulit dan juga tas kain dengan motif tribal. Dengan
pertimbangan durasi perjalanan saya yang masih panjang, saat itu saya
berupaya menekan syahwat belanja saya. Tetapi akhirnya iman saya
runtuh, dan sebuah tas kulit kecil dijejalkan ke dalam backpack saya.
Saya menghibur diri, dan menganggapnya sebagai token pembayar rindu
akan Chefchaouen.
|
Sudut lain Chefchauen, di luar dinding Medina |
Beres dari
Medina, sayapun mengarah kembali ke utara, untuk kembali ke
penginapan. Saat itu, matahari sudah sangat tinggi. Panasnya mulai
menusuk ubun-ubun. Berbelok di jalan Avenue Mohammad,
tiba-tiba ada seorang yang berteriak dari kejauhan dengan kata yang
sangat familiar: “Indonesia? Indonesia?” Sungguh,
Chefcahouen kecil dan kabar rupanya bersirkulasi dengan cepat disini.
Saya pun tersenyum dan membalasnya “Yes, I'm Indonesian!”
Tips:
# Maroko
memberlakukan bebas Visa bagi pemegang paspor RI selama 30 hari
# Jika
anda sedang berada di Eropa barat, beberapa penerbangan berbujet
rendah atau LCC memiliki jadwal penerbangan langsung ke kota Tangier
atau kota Fes. Dari Tangier membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam
untuk sampai Chefchaouen. Sedangkan dari Fes waktunya sekitar 5
hingga 6 jam.
# Melalui
jalur laut, anda bisa menyebrangi selat Gibraltar dari kota
Algeciras, Spanyol menuju kota Tangier, Maroko selama 2 jam.
# Ada
2 perusahaan bis yang terbukti kredibilitasnya di antara pelancong,
yaitu bis CTM dan Supratour. Bisnya memiliki jadwal tetap dan
memiliki sistem yang terintegrasi dengan baik. Tetapi jika kita
ketinggalan jadwal dari ke-2 bis tersebut, masih ada bis lokal
lainnya yang juga melewati jalur yang sama. Yang berbeda adalah
mereka tidak memiliki jadwal tetap dan juga bisnya bukan keluaran
terbaru. Tapi jangan khawatir, jalanan di Maroko, meskipun berada
di atas pegunungan yang terpencil, permukaannya jauh lebih mulus
daripada jalan Kotamadya yang ada di Indonesia.
# Untuk
mata uang, Maroko memakai MAD (Maroccan Dirham). Kita bisa
langsung menarik uang tersebut di ATM, atau juga menukarkan mata
uang Euro, poundsterling atau USD di bank ataupun money changer.
Jangan lupa selalu sertakan paspor saat kita menukarkan uang.
# Maroko
merupakan destinasi liburan sepanjang tahun. Tetapi biasanya bulan
desember hingga februari, dimana cuaca dan iklimnya sangat
fluktuatif, bisa dianggap sebagai low season.
# Terkecuali
restoran yang ada di medina, tempat makan yang ada di kota
Chefchaouen memasang tarif yang wajar. Tetapi selalu tanyakan harga
terlebih dahulu supaya lebih yakin.
# Chefchaouen
merupakan kota kecil, namun untuk lebih mengapresiasinya secara
lebih baik, terutama jika ingin mengeksplor taman nasionalnya,
luangkan waktu selama 3-4 hari.
Note: Post ini merupakan unedited version dari tulisan yang dimuat di rubrik Backpacker HU Pikiran Rakyat, Minggu 13 September 2015flashpackermama.blogspot.com