Thursday, October 1, 2015

Manzakine*, Marrakech!

(Hello in Berber)




Sbar Elkhair!Good Morning..


Pagi pertama
Langit masih berwajah sedikit gelap. Di kejauhan nuansa biru mulai sedikit menggulung sisa dini hari. Dengan mata yang masih tertutup setengah, saya menerka bahwa kami telah sampai di tujuan, Marakkech. Menembus malam, dijalanan aspal yang mulus sepanjang 569km, saya tidur nyenyak seperti bayi. Meski saya sempat terbangun beberapa kali, membetulkan posisi badan yang melorot, karena "sumpah", di Maroko ini, tidak ada yang namanya perempatan yang memiliki lampu lalu lintas. Setiap ruas jalan dipisahkan dengan "round about" alias bundaran. Jadilah si bis berjalan berkelok-kelok. 


Saya berangkat dari Tangier menumpang bis CTM sekitar jam 9 malam, dan saat ini sekitar jam 5 pagi kurang, kami telah sampai di depot bis CTM. Untungnya depot bisnya nyaman dan bersih. Sambil menunggu matahari muncul, saya dan kawan memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu di kantinnya. Harum croissant yang baru keluar dari pemanggangan, sangat tercium genit di hidung. Setelah kurang lebih 1 jam, akhirnya kami memutuskan pergi menuju hotel kami yang terletak di Djema El Fna. Jantungnya Marrakech.

Bernegoisasi dengan supir taksi, kami sepakat di angka 40 Dirham. Sebenarnya bisa lebih murah lagi, tapi ya sudahlah. Kami hanya ingin segera sampai di hotel. Senyamannya jok bis, tidur dengan posisi menekuk duduk selama 8 jam, otot dan urat butuh diluruskan. 15 menit kemudian, kami sampai. Hm, yah setidaknya mendekati tujuan. Kami di turunkan di pinggir plaza, si supir taksinya bilang, kalo hotel yang dituju terletak didalam dan mobil tidak bisa masuk. Okeh. Akhirnya kami turun dengan sedikit terhuyung.

plaza menuju jantung Djema El Fna. Sejak siang, terutama malam hari. Tak ada spot yang lengang di area ini

Hotel yang kami inapi bernama Hotel Cecil. Posisinya sangat strategis, tepat berada disisi terluar Djema El Fna. Dari jalan raya utama hanya butuh berjalan sekitar 5 menit saja, dan mungkin 10 menit jika berjalan santai. Bersyukur kami tak sempat tersesat saat mencarinya. Kami terhindar dari kisah horor yang saya baca di berbagai forum travel yang berbagi cerita betapa mereka frustasi saat mencari hotel atau hostel mereka diantara labirin-labirin Djema El Fna.

Hotel ini terletak di sebuah gang pertama setelah belokan, berhadapan dengan cafe Argana, yang tahun 2011 lalu hancur karena bom bunuh diri. Dari kejauhan, nama cafe ini sudah bisa terlihat dan bisa dijadikan sebagai patokan. Sebelum berbelok ke gang, saya sempat menebar pandangan. Suasana masih sepi. Hanya sedikit orang yang berlalu lalang. Nampak beberapa pekerja mulai menyapu sampah yang tercecer di jalanan. Beberapa anak sekolah dengan rambut tebal hitam tersisir rapi jalan beriringan. Ini adalah keseharian.


Gang hotel menuju Djema El Fna


Sedikit bau pesing mengambang di udara saat saya akhirnya melintas gang. Seorang tuna wisma masih tertidur di antara kardus, dan trolley yang berisikan entah apa. Saya terus berjalan ke dalam. Dinding-dinding yang membatasi gang berwarna merah tua. Mata saya terus nyalang, mencari plang atau apapun yang mengindikasikan tempat yang saya cari. Dari kejauhan, nampak seorang pemuda bertubuh besar, keluar dari sebuah pintu coklat yang berada disebelah kiri saya. Otomatis mata saya tertuju kepadanya, dan saat saya mengubah sekian derajat bola mata saya ke atas, pemuda itu tepat berdiri dibawah plang “Hotel cecil”. Bergegas, pemuda tersebut melewati kami.


Berjalan sekitar 5 meter, saya sampai di depan pintu hotel yang tertutup rapat. Saat itu masih jam 6 lewat sedikit. Setelah mengetuk, barulah ada yang membukakan pintu. Matanya sembap, nampaknya saya memutus raintai tidurnya. Saya mengucap maaf, dan tanpa keramahan yang manis, dia bilang “It's okay”. Sebelumnya saya sudah mengemail bahwa saya akan sampai pagi hari, dan mereka mengiyakan permintaan saya untuk early check in. Lelaki berperawakan kecil tersebut langsung sigap meminta paspor saya. Saya juga menyorongkan handphone yang berisi data pesanan saya, saat dia nampak gamang mencari-cari nama saya di buku panjang kecil yang mengingatkan saya pada mang Asep, tukang sayur di rumah yang memiliki buku serupa, tempatnya mencatat pesanan ibu-ibu.

Tak lama, proses check in selesai. Dia mempersilahkan kami menunggu kamar dipersiapkan. Bulan Maret termasuk shouldered season, peralihan dari low season menuju high season. Maroko merupakan destinasi wisata all year round, artinya setiap bulan apapun, akan selalu ada turis yang menghabiskan liburannya disini. Jika saat high season, tentu saja, selain harga-harga akan segera membuat dompet bocor, ketersediaan penginapan menjadi penuh persaingan, dan manusia yang memenuhi titik wisata akan sangat membuncah.




Saya memesan 1 buah kamar dengan 2 bed dengan km luar seharga 19 Euro permalam. Cukup murah, dengan posisinya yang menurut saya sih sangat strategis. Biasanya kamar yang saya tempati berharga sekitar 45-50 euro per malam saat high season. Saat sampai ke kamar, saya sempat terkejut, karena kamar yang bakal ditempati ternyata memuat 3 bed. 2 single bed dan 1 buah double bed. Jadinya kami bebas mau memilih tidur dimana saja. Saya menempati 1 bed disebelah kanan, sementara kawan saya memilih ranjang yang luas, mungkin rindu berguling-guling ala film India. Setelah rebahan, bunyi krotok-krotok tulang adalah bukti yang paling valid kalo kami butuh istirahat. Jadilah kami sepakat, bakal meneruskan tidur setelah sempat numpang sarapan di atas rooftop. 






Tuesday, September 22, 2015

I'm Feeling Blue


He who does not travel will not know the value of men-Moorish proverb







Hari terakhir di Chef, sedari pagi saya sudah melipir kesana kemari. Sebenernya saya masih merasa betah di sini. Tapi rencana tetap harus berjalan, esok hari, saya sudah harus berada di Marrakesh. Saya masih punya waktu sepagian ini hingga jam 10 untuk menyesatkan diri kembali di antara labirin kota tua chefchaouen yang berundak-undak. Semakin menerabas ke dalam jantungnya, bauran gradasi berbagai kelir biru mengingatkan saya pada lukisan “Blue nude” Georgia O' Keeffe. Tak ada tercium bau lembap, meski dibeberapa area sinar matahari tak sampai.



Selain warna biru, tersedia juga warna genit lainnya untuk mengecat rumah


Saya melewati warung sederhana yang menjual serupa kue-kue lokal. Sang pemilik warung sekaligus chef nampak sibuk mengolah kuenya in situ.  Tapi sayang, beliau tidak mau saya foto. Yah sudahlah, cukup kue-kuenya saja yang saya abadikan dalam foto dan ingatan. Saya mencoba mencicipnya, tapi bah! Gigi sensitif saya dibuat ngilu akibat rasa manis dari gula.



Beranjak dari sana, saya terus berjalan tak tentu arah. Kadang berhenti sejenak saat sampai di perempatan atau pertigaan; berpikir. Belok kanan? Kiri? ke atas? ke bawah? Menyenangkan! Tak ada konsekuensi, tak ada benar-salah. Setelah 2 jam lebih berjalan, saya sampai kembali di Medina. Dari kejauhan terdengar hiruk pikuk dan suara semacam raungan? Dan rebana!Hoh, mereka sedang menari. Tentu saja saya mendekat.


Keriuhan yang mengundang massa untuk mendekat, musiknya sangat hipnotik, setidaknya buat saya


Dan sayapun sempat mengabadikannya dalam bentuk video. Silahkan ditonton aja yah disini;




Sunday, September 20, 2015

Mutiara Biru, Pendera Rindu




Salah satu sudut Chefchaouen beranak tangga


Matahari menerobos sela dahan, berkelit di antara buah jeruk berkelir oranye tua. Saya mengaso di loteng penginapan, setelah sedari pagi menjelajah sebuah bukit di utara Chefchaouen. Segelas jeruk peras segar rumahan, dan panekuk lokal bernama Msemen yang dicocol pada selai cranberry pun tandas dalam hitungan menit. Deru air yang mengalir di sebuah parit kecil, udara yang bersih, dan angin yang mendayu ternyata sanggup memecah lelah yang sempat menerpa, segampang saya menyeka sebutir keringat dikening dengan ujung lengan baju saya.

Terawang kota di bawah langit Afrika
Seraya menutup pintu hostel pelan-pelan, saya sempat bersirobok pandang dengan seekor kucing liar gemuk, yang menggulungkan badannya seperti bola supaya tetap hangat. Sekejap kemudian, saya telah berada di antara dinding tua bercat biru. Suasana nampak sunyi, gelap masih sedikit tersisa di udara, karena matahari pun masih sembunyi.

Djama Boulazar

Mendekati Bab Muqaddam; satu dari sekian akses masuk menuju kota tua, saya melewati sebuah rumah kecil yang pintu dapurnya sedikit terbuka. Nampak cahaya lampu kuning berpijar dari dalam, dan aroma roti tradisional Maroko bernama Khobz yang baru matang, menghambur keluar, bergulung dengan aliran hawa dingin yang datang dari pegunungan. Segar dan mengundang. Ada sedikit rasa penasaran yang menggelitik saya untuk mendatangi pintu tersebut. Tetapi godaan untuk segera menikmati mutiara biru dari ketinggian mendorong saya untuk terus melangkahkan kaki, dan mengarahkannya ke atas bukit, tempat Djama Boulazar berada. Masjid ini merupakan bangunan yang bersejarah, setelah sebelumnya rusak berat akibat invasi bangsa Spanyol, kembali elok setelah selesai direstorasi tahun 2013 lalu. Ia menjadi titik favorit untuk menikmati moleknya si mutiara biru beberapa jengkal di bawah awan.


Chefchaouen di pagi hari, saat matahari lambat laun menyapu gelap diseluruh kota

Setelah 20 menit berjibaku dengan nafas pendek dan serakan batu kerikil. Akhirnya saya sampai di mesjid tersebut. Keringat meluncur bebas, mulut saya menganga, sibuk mengolah oksigen sekaligus terpana dengan kecantikan yang terhampar di depan mata. Wow! Sungguh takjub menyaksikan bagaimana matahari yang lambat laun bergeser menyapu gelap di sebuah kota. Awan-awan mulai berarak, menaungi pucuk-pucuk pegunungan Rif yang gagah. Saya kehabisan kata adjektiva. Semua terlihat besar, gigantis dan magis. Barulah saya sadar, jika saat itu sedang berada di bawah langit Afrika.



Chefchaouen dari atas Djama Boulazar menjelang petang

























Jika ingin menikmati pemandangan tersebut tanpa berjejalan dengan yang lain, datanglah pagi sekali. Jangan pada sore hari!Yah, melihat matahari terbenam sepertinya ide yang brilian. Tetapi pada kenyataannya, suasana terlalu hiruk pikuk, belum lagi kebisingan yang datang dari sebuah speaker mungil yang melantunkan hiphop dengan bahasa Arab berber, agak sedikit menerbitkan geli dan mengaburkan rasa syahdu.


Jelajah taman nasional
Menuju pulang, saya kembali melewati jalan setapak yang merupakan bagian dari Talassemtane National Park dengan luas hampir 145.000 hektar. Taman ini memiliki beberapa spesies hewan langka dan juga vegetasi yang khas serupa pohon pinus hitam, pohon cedar dan juga pohon Elbow yang konon hanya tumbuh di daerah ini saja. Sayang sekali saya tidak memakai perlengkapan hiking yang memadai. Setidaknya sepatu yang layak untuk dipakai menjelajah medan terjal. Padahal saya tertarik sekali mengunjungi air terjun bernama Akchcour, yang berada di jantung taman tersebut.


Punggung gunung batu, bagian dari Taman Nasional Talassemtane

Hari sebelumnya saya sempat berbincang dengan dua kawan dari Australia. Mereka menyarankan untuk menyewa guide lokal jika ingin hiking. Karena, di beberapa areal taman tersebut, kadang kita melewati beberapa perkebunan hashish ilegal, yang dijaga orang-orang bersenjata. Meski tidak pernah terdengar kabar ada pelancong yang celaka, tetapi lebih baik mengambil jalur aman saja. Pegunungan Rif merupakan sentra perkebunan daun memabukkan tersebut, hasil produksinya diselundupkan dan menjadi komoditas yang paling dicari di cafe-cafe Amsterdam, Belanda. Di Maroko sendiri, menanam dan memiliki barang tersebut tetap merupakan perbuatan melanggar hukum. Hal ini cukup kontradiktif, karena pada kenyataannya, mengisap Kif yang merupakan salah satu hasil sampingan dari olahan daun tersebut, terutama bagi kaum pria yang masih kental pengaruh tribalnya, merupakan sesuatu yang dianggap lumrah.

Ras El Maa, Tempat ngadem warga Chefchaouen di musim panas

Tak bisa hiking, jadi sayapun cukup puas memandangi punggung gunung batu yang menjulang dari kejauhan. Sedikit melipur lara, saya pun melipir ke Ras el Maa, yaitu sebuah mata air yang jadi muasal sungai pembelah bagian terluar Chefchaouen. Ia menjadi pusat bagi warga lokal dan juga pelancong mendinginkan diri saat matahari Afrika bersinar ganas di musim panas. 





Di Ras El Maa ini pula, para wanita setempat biasanya melakukan aktivitas mencuci. Pada saat saya lewat, nampak beberapa wanita paruh baya dan juga gadis belia sedang mencuci karpet dan juga sandang mereka. Saya agak ragu untuk mengabadikannya dalam bentuk foto, khawatir mereka keberatan. Karena bagi warga Maroko, beberapa masih merasa tabu untuk difoto. Namun dengan sedikit senyum dan juga bahasa tubuh, mereka tak mendelik saat mendengar suara klik.



Mari tersesat!

Salah satu Labyrinth didalam kota tua

Seperti laiknya kota-kota lain di Maroko, bagian terdalam Chefchaouen merupakan kota tua. Karena posisinya yang berbukit, siapkan stamina untuk menanjak dan menurun di jalanan beralas batu. Jangan bayangkan bangunan di dalamnya tertata secara horizontal, rapih atau segaris. Bangunan saling berhimpit, berlorong dan meliuk seperti labirin. 

Menyesatkan. 

Dan saya sengaja menyesatkan diri saya selama 3 jam di sana dan itu sangat menyenangkan!Bangunan di luar tembok kota tua, meskipun biru tetapi masih diaksentuasi warna lain. Tetapi tepat di jantungnya, kemana mata memandang, berbagai gradasi biru dari mulai biru kehijauan hingga kobal dan sedikit sapuan putih yang menghampar. Pintu-pintu rumah mereka pun sangat cantik dan memiliki berbagai macam ornamen yang berbeda satu sama lain. Saya seperti sedang berada di dalam lukisan Dali. Suasananya nampak terlalu surreal untuk bisa saya cerna secara instan.







Saya sempat mengobrol dengan Hassan, seorang perajin kuningan dan perak yang telah menggeluti profesi turun temurun ini selama 30 tahun lebih. Saat saya sampai di bengkel yang sekaligus menjadi kiosnya, dia sedang menempa sebuah lempeng kuningan yang akan dia jadikan sebagai piring. Saya cuma bisa berdecak kagum dan melemparkan pujian. Keluar dari sana, saya sudah mengantungi 3 buah gantungan kunci berupa lentera dengan ornamen khas Maroko. Sangat unik dan juga detil hingga ke bagian yang terkecil.

Salah satu sudut di workshopnya Hasan, sang artisan


Bubuk biru inilah yang dipakai untuk memulas seluruh bangunan di musim semi


























Dalam ketersesatan saya itu, saya melewati lorong yang merupakan sebuah pasar kecil. Seorang lelaki menghamparkan dagangannya berupa buah jeruk, dan penjual sebelahnya menjual ikan yang nampak seperti sarden. Di deretan lain, seorang pemuda menjual beberapa rempah dan juga buah zaitun. Sebuah toko menjual serbuk berwarna-warni yang dipakai untuk memulas bangunan. Dahulu kala, mereka memakai serbuk yang terbuat dari kulit kerang untuk mencat rumahnya yang disebut tekhelet. Namun di jaman modern ini, mereka memakai bahan sintetis sehingga menghasilkan warna biru yang lebih jreng. Setiap awal musim semi, semua penduduk Chefchaouen memulai ritual untuk mengecat ulang rumah mereka.


Al-Kasbah di jantung Medina

Sayapun sampai di Medina. Nampak Al-kasbah dengan menaranya yang menjulang. Bangunan ini dahulunya merupakan benteng untuk menghalau invasi bangsa Spanyol. Dengan membayar 10 MAD atau setara 16000 rupiah, kita bisa masuk dan melihat taman di dalamnya, serta beberapa ruangan dan juga bekas penjara. Kita juga bisa naik ke menaranya dan melihat sekeliling kota. Sayangnya, tidak tersedia display yang berbahasa Inggris.


Sudut lain Jantung Medina

Di Plaza El uta hamman, yaitu jantungnya medina, nampak jajaran restoran-restoran yang menawarkan makanan khas Maroko serupa tajine (sup sayur dengan isi daging kambing atau domba) yang disajikan dengan couscous. Hati-hati jika bersantap disini, banyak penipunya. Selalu tanyakan pasti harga di awal, mereka bisa berbahasa Inggris tetapi kadang pura-pura tak mengerti. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, seorang backpacker Jepang yang dipaksa untuk membayar lebih dan dikejar hingga keluar restoran.


Salah satu penjual Kerajinan berupa tas tribal yang terbuat dari kulit dan tenunan berber

Selain restoran, di medina juga banyak toko-toko yang menjual souvenir berupa pernak-pernik seperti gantungan kunci, dompet, perhiasan, magnet kulkas dll. Tetapi yang paling menarik minat saya adalah tas-tas kulit dan juga tas kain dengan motif tribal. Dengan pertimbangan durasi perjalanan saya yang masih panjang, saat itu saya berupaya menekan syahwat belanja saya. Tetapi akhirnya iman saya runtuh, dan sebuah tas kulit kecil dijejalkan ke dalam backpack saya. Saya menghibur diri, dan menganggapnya sebagai token pembayar rindu akan Chefchaouen.


Sudut lain Chefchauen, di luar dinding Medina

Beres dari Medina, sayapun mengarah kembali ke utara, untuk kembali ke penginapan. Saat itu, matahari sudah sangat tinggi. Panasnya mulai menusuk ubun-ubun. Berbelok di jalan Avenue Mohammad, tiba-tiba ada seorang yang berteriak dari kejauhan dengan kata yang sangat familiar: “Indonesia? Indonesia?” Sungguh, Chefcahouen kecil dan kabar rupanya bersirkulasi dengan cepat disini. 

Saya pun tersenyum dan membalasnya “Yes, I'm Indonesian!”



Tips:


# Maroko memberlakukan bebas Visa bagi pemegang paspor RI selama 30 hari
# Jika anda sedang berada di Eropa barat, beberapa penerbangan berbujet rendah atau LCC memiliki jadwal penerbangan langsung ke kota Tangier atau kota Fes. Dari Tangier membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam untuk sampai Chefchaouen. Sedangkan dari Fes waktunya sekitar 5 hingga 6 jam.
# Melalui jalur laut, anda bisa menyebrangi selat Gibraltar dari kota Algeciras, Spanyol menuju kota Tangier, Maroko selama 2 jam.
# Ada 2 perusahaan bis yang terbukti kredibilitasnya di antara pelancong, yaitu bis CTM dan Supratour. Bisnya memiliki jadwal tetap dan memiliki sistem yang terintegrasi dengan baik. Tetapi jika kita ketinggalan jadwal dari ke-2 bis tersebut, masih ada bis lokal lainnya yang juga melewati jalur yang sama. Yang berbeda adalah mereka tidak memiliki jadwal tetap dan juga bisnya bukan keluaran terbaru. Tapi jangan khawatir, jalanan di Maroko, meskipun berada di atas pegunungan yang terpencil, permukaannya jauh lebih mulus daripada jalan Kotamadya yang ada di Indonesia.
# Untuk mata uang, Maroko memakai MAD (Maroccan Dirham). Kita bisa langsung menarik uang tersebut di ATM, atau juga menukarkan mata uang Euro, poundsterling atau USD di bank ataupun money changer. Jangan lupa selalu sertakan paspor saat kita menukarkan uang.
# Maroko merupakan destinasi liburan sepanjang tahun. Tetapi biasanya bulan desember hingga februari, dimana cuaca dan iklimnya sangat fluktuatif, bisa dianggap sebagai low season.
# Terkecuali restoran yang ada di medina, tempat makan yang ada di kota Chefchaouen memasang tarif yang wajar. Tetapi selalu tanyakan harga terlebih dahulu supaya lebih yakin.
# Chefchaouen merupakan kota kecil, namun untuk lebih mengapresiasinya secara lebih baik, terutama jika ingin mengeksplor taman nasionalnya, luangkan waktu selama 3-4 hari.   



Note: Post ini merupakan unedited version dari tulisan yang dimuat di rubrik Backpacker HU Pikiran Rakyat, Minggu 13 September 2015flashpackermama.blogspot.com

Monday, September 14, 2015

Sepenggal Malam di Chefchaouen



Saat saya masih terkantuk-kantuk disebuah bis tua selama 3 jam, tiba-tiba supirnya menghentikan laju bisnya di pinggir jalan. Sang kernet, dengan bahasa Berber berbalut patahan bahasa Inggris, menyuruh saya dan teman perjalanan saya untuk segera turun. Gamang, saya pun memastikan lagi bahwa ini adalah betul tujuan saya, Chefchaouen (baca : Shafshāwan), kota kecil yang tersemat di hamparan pegunungan Rif nan gigantis, di timur laut Maroko.
                                                                               

On peut aller au Chefchaouen” kata saya dalam bahasa Prancis.” Kami ingin pergi ke Chefchaouen”. Maroko memang pernah menjadi koloni Prancis selama 44 tahun, sebelum merdeka ditahun 1956. Beberapa orang juga dapat berbahasa Spanyol karena kedekatan kultural dan geografis mereka. “Oui, ici, Chefchaouen.” jawab kernet tadi.” Yah, ini Chefchaouen.” 

Karena beberapa orang lokal turun, maka kami ikut turun. Sempat bingung, tapi kami melihat mereka yang turun pun menumpang grand taxi, maka kami pun menaiki grand taxi tersebut; berupa mercy tua yang melaju kencang, berjejalan dengan 6 orang lainnya. Bukan sarana transportasi bagi pengidap Klaustrofobia.  

Saya duduk di belakang,  terhimpit diantara 2 nona bertubuh semampai dan seorang perempuan paruh baya yang mengambil 2/3 dari jatah tempat duduk kami. Sementara kawan saya duduk di depan, terhimpit di antara supir, perseneling dan seorang backpacker berambut blonde, yang tak sengaja mematahkan pegangan pintu saat si supir melaju kencang di jalan yang berkelok. 

20 menit berikutnya, kami telah berada di tengah kota. Padahal Ali, pemilik penginapan kami, telah menunggu di stasiun bis. Ternyata setelah saya googling beberapa hari berikutnya, tempat tadi kami di turunkan adalah sebuah area bernama Derdara, yang terletak di Jalan raya provisi dan memang masih berjarak sekitar 8Km dari Chefchaouen. Baiklah, hal yang menyenangkan dari sebuah perjalanan adalah saat sesuatu berjalan diluar rencana. Selalu siapkan plan B!


Muasal biru


Merunut pada sejarah berdirinya, kota benteng ini didirikan oleh Sidi Moulay Mohammed bin Ali bin Musa bin Rashid al-Hassani Idrissi pada tahun 1471, untuk menampung pengungsi muslim dari Andalusia yang terusir dari Spanyol. Pengungsi Yahudi yang melarikan diri dari kekejaman Nazi ditahun 30an pun, mencari suaka di kota ini. Kedatangan kaum Yahudi inilah yang menjadi muasal kota ini berwarna biru. Dalam kepercayaan Judaisme, mereka selalu memulas bangunan rumah mereka dengan pigmentasi biru sebagai simbol kedekatan dengan langit dan Tuhan. Kaum Yahudi hanya bermukim sebentar di Chefchaouen. Namun sisa akulturasi budaya berupa pulasan biru telah diadopsi warga setempat. Salah satu alasannya konon, nyamuk-nyamuk jadi tidak suka bertandang ke rumah.


Meriahnya malam jum’at di Chefchaouen
Selesai shalat magrib, kaki ini sudah gatal ingin segera mengeksplor area sekitar. Hawa lebih terasa bersahabat. Beberapa orang menyapa “Konichiwa!”. Sambil tersenyum, saya menjawab bahwa kami orang Indonesia. Mereka pun tersenyum dan mengucapkan selamat datang. Ada sebuah studi psikologi yang menyebutkan bahwa paparan warna dapat mempengaruhi jiwa, hal ini nampaknya bisa saya amini. Perihal warna biru, konon diasosiasikan dengan rasa damai, kebijaksanaan dan ketentraman, sementara pengaruh secara fisiknya dapat menurunkan tekanan darah dan ritme nafas, sehingga menenangkan. Penduduk Chefchaouen memang dikenal lebih santai dan ramah jika dibandingkan dengan kota lainnya di Maroko.



Saat saya sampai di depan Bab Muqaddam, satu dari tujuh pintu masuk ke kota tua Chefchaouen, suasana sangat ramai dengan muda-mudi lokal. Mereka membentuk koloni-koloni kecil. Hal ini mengingatkan saya pada kawasan Dago di malam minggu. Gelak tawa dan dengungan suara orang yang berbincang memenuhi udara malam.






















Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Nampak beberapa pedagang makanan dengan rodanya dijejali pelanggan. Saya merasa tergelitik untuk mencoba. Saya coba datangi salah satu roda yang pengunjungnya datang dan pergi. Ternyata roda ini menjual penganan berupa siput kecil seperti tutut. Sebuah kejutan. Sebagai pembuka, saya memesan 1 porsi bubur terlebih dahulu, yang mirip seperti bubur hanjeli, namun bubur ini rasanya asin.











Makanan berikutnya, pedagangnya memberikan saya 2 buah mangkok; 1 mangkok siput, dan 1 mangkok kuahnya. Saya lihat, orang-orang sibuk makan bergantian antara ke-2 mangkok tersebut. Siput dicukil dengan tusuk gigi, lanjut menyeruput kuahnya. Sayang sekali, masakannya sangat minim bumbu. Lidah saya hanya bisa mencecap rasa asin dan anyir saja. Saat hendak menyantapnya, saya menutup mata, karena siputnya masih berantena. Tapi harganya cukup murah, semuanya hanya 7 Dirham saja atau setara dengan 9 ribu rupiah.


Selesai makan, saya berniat melanjutkan eksplorasi. Rupanya penduduk Chefchaouen bukan tipikal yang beraktivitas hingga larut. Saat saya memasuki sebuah pasar malam, pedagangnya mulai sibuk berkemas. Nampaknya eksplorasi baru dapat dimulai esok pagi.



Note: Posting ini merupakan unedited version dari tulisan yang dimuat di Rubrik Backpacker HU Pikiran Rakyat, Minggu 13 September 2015