Sunday, September 20, 2015

Mutiara Biru, Pendera Rindu




Salah satu sudut Chefchaouen beranak tangga


Matahari menerobos sela dahan, berkelit di antara buah jeruk berkelir oranye tua. Saya mengaso di loteng penginapan, setelah sedari pagi menjelajah sebuah bukit di utara Chefchaouen. Segelas jeruk peras segar rumahan, dan panekuk lokal bernama Msemen yang dicocol pada selai cranberry pun tandas dalam hitungan menit. Deru air yang mengalir di sebuah parit kecil, udara yang bersih, dan angin yang mendayu ternyata sanggup memecah lelah yang sempat menerpa, segampang saya menyeka sebutir keringat dikening dengan ujung lengan baju saya.

Terawang kota di bawah langit Afrika
Seraya menutup pintu hostel pelan-pelan, saya sempat bersirobok pandang dengan seekor kucing liar gemuk, yang menggulungkan badannya seperti bola supaya tetap hangat. Sekejap kemudian, saya telah berada di antara dinding tua bercat biru. Suasana nampak sunyi, gelap masih sedikit tersisa di udara, karena matahari pun masih sembunyi.

Djama Boulazar

Mendekati Bab Muqaddam; satu dari sekian akses masuk menuju kota tua, saya melewati sebuah rumah kecil yang pintu dapurnya sedikit terbuka. Nampak cahaya lampu kuning berpijar dari dalam, dan aroma roti tradisional Maroko bernama Khobz yang baru matang, menghambur keluar, bergulung dengan aliran hawa dingin yang datang dari pegunungan. Segar dan mengundang. Ada sedikit rasa penasaran yang menggelitik saya untuk mendatangi pintu tersebut. Tetapi godaan untuk segera menikmati mutiara biru dari ketinggian mendorong saya untuk terus melangkahkan kaki, dan mengarahkannya ke atas bukit, tempat Djama Boulazar berada. Masjid ini merupakan bangunan yang bersejarah, setelah sebelumnya rusak berat akibat invasi bangsa Spanyol, kembali elok setelah selesai direstorasi tahun 2013 lalu. Ia menjadi titik favorit untuk menikmati moleknya si mutiara biru beberapa jengkal di bawah awan.


Chefchaouen di pagi hari, saat matahari lambat laun menyapu gelap diseluruh kota

Setelah 20 menit berjibaku dengan nafas pendek dan serakan batu kerikil. Akhirnya saya sampai di mesjid tersebut. Keringat meluncur bebas, mulut saya menganga, sibuk mengolah oksigen sekaligus terpana dengan kecantikan yang terhampar di depan mata. Wow! Sungguh takjub menyaksikan bagaimana matahari yang lambat laun bergeser menyapu gelap di sebuah kota. Awan-awan mulai berarak, menaungi pucuk-pucuk pegunungan Rif yang gagah. Saya kehabisan kata adjektiva. Semua terlihat besar, gigantis dan magis. Barulah saya sadar, jika saat itu sedang berada di bawah langit Afrika.



Chefchaouen dari atas Djama Boulazar menjelang petang

























Jika ingin menikmati pemandangan tersebut tanpa berjejalan dengan yang lain, datanglah pagi sekali. Jangan pada sore hari!Yah, melihat matahari terbenam sepertinya ide yang brilian. Tetapi pada kenyataannya, suasana terlalu hiruk pikuk, belum lagi kebisingan yang datang dari sebuah speaker mungil yang melantunkan hiphop dengan bahasa Arab berber, agak sedikit menerbitkan geli dan mengaburkan rasa syahdu.


Jelajah taman nasional
Menuju pulang, saya kembali melewati jalan setapak yang merupakan bagian dari Talassemtane National Park dengan luas hampir 145.000 hektar. Taman ini memiliki beberapa spesies hewan langka dan juga vegetasi yang khas serupa pohon pinus hitam, pohon cedar dan juga pohon Elbow yang konon hanya tumbuh di daerah ini saja. Sayang sekali saya tidak memakai perlengkapan hiking yang memadai. Setidaknya sepatu yang layak untuk dipakai menjelajah medan terjal. Padahal saya tertarik sekali mengunjungi air terjun bernama Akchcour, yang berada di jantung taman tersebut.


Punggung gunung batu, bagian dari Taman Nasional Talassemtane

Hari sebelumnya saya sempat berbincang dengan dua kawan dari Australia. Mereka menyarankan untuk menyewa guide lokal jika ingin hiking. Karena, di beberapa areal taman tersebut, kadang kita melewati beberapa perkebunan hashish ilegal, yang dijaga orang-orang bersenjata. Meski tidak pernah terdengar kabar ada pelancong yang celaka, tetapi lebih baik mengambil jalur aman saja. Pegunungan Rif merupakan sentra perkebunan daun memabukkan tersebut, hasil produksinya diselundupkan dan menjadi komoditas yang paling dicari di cafe-cafe Amsterdam, Belanda. Di Maroko sendiri, menanam dan memiliki barang tersebut tetap merupakan perbuatan melanggar hukum. Hal ini cukup kontradiktif, karena pada kenyataannya, mengisap Kif yang merupakan salah satu hasil sampingan dari olahan daun tersebut, terutama bagi kaum pria yang masih kental pengaruh tribalnya, merupakan sesuatu yang dianggap lumrah.

Ras El Maa, Tempat ngadem warga Chefchaouen di musim panas

Tak bisa hiking, jadi sayapun cukup puas memandangi punggung gunung batu yang menjulang dari kejauhan. Sedikit melipur lara, saya pun melipir ke Ras el Maa, yaitu sebuah mata air yang jadi muasal sungai pembelah bagian terluar Chefchaouen. Ia menjadi pusat bagi warga lokal dan juga pelancong mendinginkan diri saat matahari Afrika bersinar ganas di musim panas. 





Di Ras El Maa ini pula, para wanita setempat biasanya melakukan aktivitas mencuci. Pada saat saya lewat, nampak beberapa wanita paruh baya dan juga gadis belia sedang mencuci karpet dan juga sandang mereka. Saya agak ragu untuk mengabadikannya dalam bentuk foto, khawatir mereka keberatan. Karena bagi warga Maroko, beberapa masih merasa tabu untuk difoto. Namun dengan sedikit senyum dan juga bahasa tubuh, mereka tak mendelik saat mendengar suara klik.



Mari tersesat!

Salah satu Labyrinth didalam kota tua

Seperti laiknya kota-kota lain di Maroko, bagian terdalam Chefchaouen merupakan kota tua. Karena posisinya yang berbukit, siapkan stamina untuk menanjak dan menurun di jalanan beralas batu. Jangan bayangkan bangunan di dalamnya tertata secara horizontal, rapih atau segaris. Bangunan saling berhimpit, berlorong dan meliuk seperti labirin. 

Menyesatkan. 

Dan saya sengaja menyesatkan diri saya selama 3 jam di sana dan itu sangat menyenangkan!Bangunan di luar tembok kota tua, meskipun biru tetapi masih diaksentuasi warna lain. Tetapi tepat di jantungnya, kemana mata memandang, berbagai gradasi biru dari mulai biru kehijauan hingga kobal dan sedikit sapuan putih yang menghampar. Pintu-pintu rumah mereka pun sangat cantik dan memiliki berbagai macam ornamen yang berbeda satu sama lain. Saya seperti sedang berada di dalam lukisan Dali. Suasananya nampak terlalu surreal untuk bisa saya cerna secara instan.







Saya sempat mengobrol dengan Hassan, seorang perajin kuningan dan perak yang telah menggeluti profesi turun temurun ini selama 30 tahun lebih. Saat saya sampai di bengkel yang sekaligus menjadi kiosnya, dia sedang menempa sebuah lempeng kuningan yang akan dia jadikan sebagai piring. Saya cuma bisa berdecak kagum dan melemparkan pujian. Keluar dari sana, saya sudah mengantungi 3 buah gantungan kunci berupa lentera dengan ornamen khas Maroko. Sangat unik dan juga detil hingga ke bagian yang terkecil.

Salah satu sudut di workshopnya Hasan, sang artisan


Bubuk biru inilah yang dipakai untuk memulas seluruh bangunan di musim semi


























Dalam ketersesatan saya itu, saya melewati lorong yang merupakan sebuah pasar kecil. Seorang lelaki menghamparkan dagangannya berupa buah jeruk, dan penjual sebelahnya menjual ikan yang nampak seperti sarden. Di deretan lain, seorang pemuda menjual beberapa rempah dan juga buah zaitun. Sebuah toko menjual serbuk berwarna-warni yang dipakai untuk memulas bangunan. Dahulu kala, mereka memakai serbuk yang terbuat dari kulit kerang untuk mencat rumahnya yang disebut tekhelet. Namun di jaman modern ini, mereka memakai bahan sintetis sehingga menghasilkan warna biru yang lebih jreng. Setiap awal musim semi, semua penduduk Chefchaouen memulai ritual untuk mengecat ulang rumah mereka.


Al-Kasbah di jantung Medina

Sayapun sampai di Medina. Nampak Al-kasbah dengan menaranya yang menjulang. Bangunan ini dahulunya merupakan benteng untuk menghalau invasi bangsa Spanyol. Dengan membayar 10 MAD atau setara 16000 rupiah, kita bisa masuk dan melihat taman di dalamnya, serta beberapa ruangan dan juga bekas penjara. Kita juga bisa naik ke menaranya dan melihat sekeliling kota. Sayangnya, tidak tersedia display yang berbahasa Inggris.


Sudut lain Jantung Medina

Di Plaza El uta hamman, yaitu jantungnya medina, nampak jajaran restoran-restoran yang menawarkan makanan khas Maroko serupa tajine (sup sayur dengan isi daging kambing atau domba) yang disajikan dengan couscous. Hati-hati jika bersantap disini, banyak penipunya. Selalu tanyakan pasti harga di awal, mereka bisa berbahasa Inggris tetapi kadang pura-pura tak mengerti. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, seorang backpacker Jepang yang dipaksa untuk membayar lebih dan dikejar hingga keluar restoran.


Salah satu penjual Kerajinan berupa tas tribal yang terbuat dari kulit dan tenunan berber

Selain restoran, di medina juga banyak toko-toko yang menjual souvenir berupa pernak-pernik seperti gantungan kunci, dompet, perhiasan, magnet kulkas dll. Tetapi yang paling menarik minat saya adalah tas-tas kulit dan juga tas kain dengan motif tribal. Dengan pertimbangan durasi perjalanan saya yang masih panjang, saat itu saya berupaya menekan syahwat belanja saya. Tetapi akhirnya iman saya runtuh, dan sebuah tas kulit kecil dijejalkan ke dalam backpack saya. Saya menghibur diri, dan menganggapnya sebagai token pembayar rindu akan Chefchaouen.


Sudut lain Chefchauen, di luar dinding Medina

Beres dari Medina, sayapun mengarah kembali ke utara, untuk kembali ke penginapan. Saat itu, matahari sudah sangat tinggi. Panasnya mulai menusuk ubun-ubun. Berbelok di jalan Avenue Mohammad, tiba-tiba ada seorang yang berteriak dari kejauhan dengan kata yang sangat familiar: “Indonesia? Indonesia?” Sungguh, Chefcahouen kecil dan kabar rupanya bersirkulasi dengan cepat disini. 

Saya pun tersenyum dan membalasnya “Yes, I'm Indonesian!”



Tips:


# Maroko memberlakukan bebas Visa bagi pemegang paspor RI selama 30 hari
# Jika anda sedang berada di Eropa barat, beberapa penerbangan berbujet rendah atau LCC memiliki jadwal penerbangan langsung ke kota Tangier atau kota Fes. Dari Tangier membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam untuk sampai Chefchaouen. Sedangkan dari Fes waktunya sekitar 5 hingga 6 jam.
# Melalui jalur laut, anda bisa menyebrangi selat Gibraltar dari kota Algeciras, Spanyol menuju kota Tangier, Maroko selama 2 jam.
# Ada 2 perusahaan bis yang terbukti kredibilitasnya di antara pelancong, yaitu bis CTM dan Supratour. Bisnya memiliki jadwal tetap dan memiliki sistem yang terintegrasi dengan baik. Tetapi jika kita ketinggalan jadwal dari ke-2 bis tersebut, masih ada bis lokal lainnya yang juga melewati jalur yang sama. Yang berbeda adalah mereka tidak memiliki jadwal tetap dan juga bisnya bukan keluaran terbaru. Tapi jangan khawatir, jalanan di Maroko, meskipun berada di atas pegunungan yang terpencil, permukaannya jauh lebih mulus daripada jalan Kotamadya yang ada di Indonesia.
# Untuk mata uang, Maroko memakai MAD (Maroccan Dirham). Kita bisa langsung menarik uang tersebut di ATM, atau juga menukarkan mata uang Euro, poundsterling atau USD di bank ataupun money changer. Jangan lupa selalu sertakan paspor saat kita menukarkan uang.
# Maroko merupakan destinasi liburan sepanjang tahun. Tetapi biasanya bulan desember hingga februari, dimana cuaca dan iklimnya sangat fluktuatif, bisa dianggap sebagai low season.
# Terkecuali restoran yang ada di medina, tempat makan yang ada di kota Chefchaouen memasang tarif yang wajar. Tetapi selalu tanyakan harga terlebih dahulu supaya lebih yakin.
# Chefchaouen merupakan kota kecil, namun untuk lebih mengapresiasinya secara lebih baik, terutama jika ingin mengeksplor taman nasionalnya, luangkan waktu selama 3-4 hari.   



Note: Post ini merupakan unedited version dari tulisan yang dimuat di rubrik Backpacker HU Pikiran Rakyat, Minggu 13 September 2015flashpackermama.blogspot.com

0 comments: