Thursday, October 1, 2015

Manzakine*, Marrakech!

(Hello in Berber)




Sbar Elkhair!Good Morning..


Pagi pertama
Langit masih berwajah sedikit gelap. Di kejauhan nuansa biru mulai sedikit menggulung sisa dini hari. Dengan mata yang masih tertutup setengah, saya menerka bahwa kami telah sampai di tujuan, Marakkech. Menembus malam, dijalanan aspal yang mulus sepanjang 569km, saya tidur nyenyak seperti bayi. Meski saya sempat terbangun beberapa kali, membetulkan posisi badan yang melorot, karena "sumpah", di Maroko ini, tidak ada yang namanya perempatan yang memiliki lampu lalu lintas. Setiap ruas jalan dipisahkan dengan "round about" alias bundaran. Jadilah si bis berjalan berkelok-kelok. 


Saya berangkat dari Tangier menumpang bis CTM sekitar jam 9 malam, dan saat ini sekitar jam 5 pagi kurang, kami telah sampai di depot bis CTM. Untungnya depot bisnya nyaman dan bersih. Sambil menunggu matahari muncul, saya dan kawan memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu di kantinnya. Harum croissant yang baru keluar dari pemanggangan, sangat tercium genit di hidung. Setelah kurang lebih 1 jam, akhirnya kami memutuskan pergi menuju hotel kami yang terletak di Djema El Fna. Jantungnya Marrakech.

Bernegoisasi dengan supir taksi, kami sepakat di angka 40 Dirham. Sebenarnya bisa lebih murah lagi, tapi ya sudahlah. Kami hanya ingin segera sampai di hotel. Senyamannya jok bis, tidur dengan posisi menekuk duduk selama 8 jam, otot dan urat butuh diluruskan. 15 menit kemudian, kami sampai. Hm, yah setidaknya mendekati tujuan. Kami di turunkan di pinggir plaza, si supir taksinya bilang, kalo hotel yang dituju terletak didalam dan mobil tidak bisa masuk. Okeh. Akhirnya kami turun dengan sedikit terhuyung.

plaza menuju jantung Djema El Fna. Sejak siang, terutama malam hari. Tak ada spot yang lengang di area ini

Hotel yang kami inapi bernama Hotel Cecil. Posisinya sangat strategis, tepat berada disisi terluar Djema El Fna. Dari jalan raya utama hanya butuh berjalan sekitar 5 menit saja, dan mungkin 10 menit jika berjalan santai. Bersyukur kami tak sempat tersesat saat mencarinya. Kami terhindar dari kisah horor yang saya baca di berbagai forum travel yang berbagi cerita betapa mereka frustasi saat mencari hotel atau hostel mereka diantara labirin-labirin Djema El Fna.

Hotel ini terletak di sebuah gang pertama setelah belokan, berhadapan dengan cafe Argana, yang tahun 2011 lalu hancur karena bom bunuh diri. Dari kejauhan, nama cafe ini sudah bisa terlihat dan bisa dijadikan sebagai patokan. Sebelum berbelok ke gang, saya sempat menebar pandangan. Suasana masih sepi. Hanya sedikit orang yang berlalu lalang. Nampak beberapa pekerja mulai menyapu sampah yang tercecer di jalanan. Beberapa anak sekolah dengan rambut tebal hitam tersisir rapi jalan beriringan. Ini adalah keseharian.


Gang hotel menuju Djema El Fna


Sedikit bau pesing mengambang di udara saat saya akhirnya melintas gang. Seorang tuna wisma masih tertidur di antara kardus, dan trolley yang berisikan entah apa. Saya terus berjalan ke dalam. Dinding-dinding yang membatasi gang berwarna merah tua. Mata saya terus nyalang, mencari plang atau apapun yang mengindikasikan tempat yang saya cari. Dari kejauhan, nampak seorang pemuda bertubuh besar, keluar dari sebuah pintu coklat yang berada disebelah kiri saya. Otomatis mata saya tertuju kepadanya, dan saat saya mengubah sekian derajat bola mata saya ke atas, pemuda itu tepat berdiri dibawah plang “Hotel cecil”. Bergegas, pemuda tersebut melewati kami.


Berjalan sekitar 5 meter, saya sampai di depan pintu hotel yang tertutup rapat. Saat itu masih jam 6 lewat sedikit. Setelah mengetuk, barulah ada yang membukakan pintu. Matanya sembap, nampaknya saya memutus raintai tidurnya. Saya mengucap maaf, dan tanpa keramahan yang manis, dia bilang “It's okay”. Sebelumnya saya sudah mengemail bahwa saya akan sampai pagi hari, dan mereka mengiyakan permintaan saya untuk early check in. Lelaki berperawakan kecil tersebut langsung sigap meminta paspor saya. Saya juga menyorongkan handphone yang berisi data pesanan saya, saat dia nampak gamang mencari-cari nama saya di buku panjang kecil yang mengingatkan saya pada mang Asep, tukang sayur di rumah yang memiliki buku serupa, tempatnya mencatat pesanan ibu-ibu.

Tak lama, proses check in selesai. Dia mempersilahkan kami menunggu kamar dipersiapkan. Bulan Maret termasuk shouldered season, peralihan dari low season menuju high season. Maroko merupakan destinasi wisata all year round, artinya setiap bulan apapun, akan selalu ada turis yang menghabiskan liburannya disini. Jika saat high season, tentu saja, selain harga-harga akan segera membuat dompet bocor, ketersediaan penginapan menjadi penuh persaingan, dan manusia yang memenuhi titik wisata akan sangat membuncah.




Saya memesan 1 buah kamar dengan 2 bed dengan km luar seharga 19 Euro permalam. Cukup murah, dengan posisinya yang menurut saya sih sangat strategis. Biasanya kamar yang saya tempati berharga sekitar 45-50 euro per malam saat high season. Saat sampai ke kamar, saya sempat terkejut, karena kamar yang bakal ditempati ternyata memuat 3 bed. 2 single bed dan 1 buah double bed. Jadinya kami bebas mau memilih tidur dimana saja. Saya menempati 1 bed disebelah kanan, sementara kawan saya memilih ranjang yang luas, mungkin rindu berguling-guling ala film India. Setelah rebahan, bunyi krotok-krotok tulang adalah bukti yang paling valid kalo kami butuh istirahat. Jadilah kami sepakat, bakal meneruskan tidur setelah sempat numpang sarapan di atas rooftop. 






0 comments: